Pages

Jumat, 28 Januari 2011

Gejolak Politik Tiada Henti


Akhir-akhir ini berita hukum dan politik selalu menghiasi media massa di tanah air, baik media cetak maupun elektronik. Dua hal itu memang seakan menjadi topik terseksi  saat ini. Sesekali muncul berita-berita kontroversial yang mengundang banyak orang untuk berkomentar, mulai dari para elit politik di DPR hingga rakyat biasa, mulai dari warteg sampai forum-forum di dunia maya seringkali menjadi tempat asyik untuk berdebat masalah itu. Bicara masalah politik memang seperti tak berujung pangkal, bisa jadi sangat panjang dan tak ada habisnya.
Satu keprihatinanku saat ini adalah banyak di antara para elit politik di negeri kita ini  justru suka memperburuk keadaan. Satu hal kecil yang sebenarnya tak usah terlalu diperhatikan justru terus menggelinding menjadi bola liar yang membuat dunia politik negeri ini terus bergolak. Satu masalah belum selesai muncul lagi masalah baru yang tak kalah ramainya. Akibatnya kita justru tidak fokus bagaimana melakukan jurus jitu untuk memajukan bangsa ini, energi kita justru terkuras untuk memikirkan kasus demi kasus yang setiap hari selalu datang silih berganti. Memang tak dapat dipungkiri kalau para elit ini punya kepentingan di balik ini semua.
Masalah Gayus Tambunan menjadi topik terpanas dalam beberapa bulan terakhir ini. Kelihaian Gayus ‘mengobok-obok’ sistem hukum tentu telah membuat hati rakyat terluka. Kasus ini telah membuat reputasi aparat penegak hukum benar-benar jatuh. Kepolisian dan kejaksaan yang seharusnya menjadi corong dalam penegakkan hukum justru ditengarai menjadi sarang para mafia hukum. Hal ini pula yang menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah saat ini. Pemerintah dianggap gagal memberantas korupsi yang seperti sudah mengakar kuat di negeri ini. 
 
www.m.politikana.com
Parahnya, ketidakpercayaan masyarakat itu juga berimbas pada hal-hal lain yang berbau pemerintah. Ada sedikit hal yang kurang baik, langsung saja ditanggapi dengan panas, para elit politik pun sangat pintar memainkan kasus-kasus seperti ini. Apa yang dikatakan oleh para elit ini tentu akan langsung menyebar dan mewarnai pemberitaan di berbagai media massa. Yang cukup disayangkan adalah adanya sejumlah media massa yang tidak netral dalam melakukan pemberitaan lantaran dimiliki oleh elit politik tertentu. Bisa kita simak, apa masalah-masalah yang dibahas dan siapa-siapa saja yang diundang untuk menjadi narasumber. Seringkali orang yang sama akan muncul kembali. Jika di channel ini si A yang sering muncul maka di channel yang satunya si B yang selalu muncul. Parahnya narasumber ini terkadang muncul sendirian dan mengungkapkan segala permasalahan dari sudut pandangnya sendiri. Padahal masalah politik, hukum, dan ekonomi yang sering menjadi topik bahasan bukanlah ilmu pasti, jadi apa yang mereka katakan tidak dapat dijadikan sebagai pengukur kebenaran.
Ketika ada kabar buruk yang terjadi maka ramai-ramai para elit politik dan pengamat mencerca pemerintah yang tidak pecus mengelola negara. Stasiun televisi berlomba-lomba menampilkan wawancara dengan para pengamat yang membahas ini jelek itu jelek harusnya begini harusnya begitu. Ketika ada kabar baik tentang bangsa ini, misalnya pertumbuhan ekonomi 6% atau cadangan devisa naik di atas US$ 90 maka ramai-ramai pula para pengamat akan menyatakan bahwa ini kemajuan semu, pemerintah hanya melihat pada angka-angka dan tidak melihat kondisi riil yang sebenarnya. Ada satu pertanyaan yang terbesit di hati saya, apakah ukuran yang dapat dipakai untuk menyatakan keberhasilan di bidang ekonomi jika bukan dengan angka-angka. Karena dengan angka-angka itulah kita bisa secara objektif melakukan penilaian. Jika diharuskan rakyat menjadi sejahtera serta kemiskinan dan pengangguran turun, tentunya kita juga akan berbicara angka-angka lagi.
Mari kita sejenak mengingat pelajaran kita sewaktu SD, ketika kita bermusyawarah maka kita harus menerima dan menjalankan hasil musyawarah itu meskipun kita sebenarnya memiliki pendapat yang berbeda. Lalu coba kita ingat ketika digelar pilpres pada 2009 lalu. Pilpres merupakan sebuah musyawarah besar yang melibatkan seluruh rakyat di negeri ini. Ketika pemilu digelar kita boleh mendukung si ini ataupun si itu. Namun, ketika pemilu telah menghasilkan sebuah keputusan, bukankah kita harus melaksanakannya dengan baik. Ketika pilpres lalu saya memilih pasangan nomor tiga, eh..ternyata SBY yang menang. Maka semenjak MPR melantiknya, SBY adalah presiden yang harus kita dukung. Jika ada kekurangan atau kesalahan tentu kita boleh memberikan kritik dan saran yang membangun. Jika ada keberhasilan yang dicapai, maka sudah sepantasnya kita memberikan apresiasi padanya. Jika dulu Anda golput, maka sebenarnya Anda tidak berhak untuk berteriak-teriak menginginkan perubahan, toh Anda sendiri yang tak mau ikut andil dalam perubahan.
Sekarang coba kita lihat kondisi saat ini. Sebagian elit politik seakan mencari-cari kesempatan untuk melakukan pemakzulan terhadap presiden. Mereka seolah senang kalau gonjang-ganjing politik terus terjadi. Bukankah kondisi kita saat ini masih cukup lumayan, ekonomi kita tak seburuk tahun 1998 yang lalu, bahkan ekonomi kini cukup stabil. Ada pula perkembangan yang menggembirakan, tapi kenapa kabar-kabar ini tak begitu diperhatikan. Memang kabar-kabar buruk yang memicu kontroversi lebih asyik dibahas dan diberitakan.  Lalu, kapan kita konsentrasi untuk membangun? Kapan kita duduk bersama untuk mencari cara mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga? Ketika ada program kreatif yang dimunculkan, buru-buru para elit dan pengamat komentar yang enggak-enggak. Yang belum siaplah, yang belum perlulah, masih ada yang lebih pentinglah, dan lain-lain. Lalu… apa yang bisa mereka tawarkan?
 
www.tempointeractive.com
Pemakzulan presiden tentu akan berdampak besar bagi negeri ini. Masih terbayang jelas di benak saya bagaimana situasi Indonesia ketika Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998 dan beberapa tahun setelahnya. Saat itu krisis ekonomi semakin memburuk, kerusuhan berbau sara muncul di berbagai daerah, disintegrasi bangsa mengancam, dan masih banyak lagi. Bukannya saya tidak mendukung reformasi, tapi tidakkah kita berpikir bahwa situasi saat ini masih lebih baik daripada dulu. Apakah kita akan mengorbankan kondisi stabil ini hanya gara-gara tidak suka pada presiden? Ongkos sosial yang harus ditanggung terlalu besar jika dibandingkan hasil yang didapat. Toh belum tentu yang akan menggantikan SBY lebih bagus dalam memimpin bangsa. Lihatlah sisi-sisi lain bangsa ini yang seakan tenggelam dalam riuhnya berita hukum dan politik. Masih banyak kabar baik untuk kita. Negara ini bukanlah negara yang gagal.


1 komentar:

  1. terkadang orang hanya melihat 1 kejelekan diantara 1000 kebaikan...
    walaupun oposisi dan pro pemerintah, marilah berpolitik dgn hati nurani...
    Untuk Indonesia yg lebih baik...

    BalasHapus

Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)