Pages

Jumat, 25 Februari 2011

Pers... Antara Idealisme dan Kepentingan


Akhir-akhir ini berita tentang pernyataan kontroversial Sekretaris Kabinet, Dipo Alam yang disebut-sebut akan memboikot media marak menghiasi berbagai media di tanah air. Beragam reaksi terus bermunculan. Sejumlah pengamat pun langsung mencecar penyataan Dipo Alam tersebut. Bahkan ada dua media yang telah melayangkan somasi kepada Dipo Alam. Apa sih yang sebenarnya terjadi dengan pers di Indonesia ini?
Semenjak memperoleh kebebasan pada awal era reformasi yang lalu pers memang seakan boleh mengeluarkan apa saja. Kebebasan itu seolah tak terbatas, sebab batasan-batasan yang wajar tentang kebebasan itu memang tak bisa dibuat dengan mudah. Sayangnya setiap kritik yang dilontarkan selalu dianggap miring. Banyak di antara mereka yang selalu merasa paling benar. Tak mau dikritik tapi suka mengkritik, apalagi jika dipersalahkan tentu akan menolak. Sebenarnya apa yang dibilang Dipo Alam itu bisa dijadikan sebagai kritik yang membangun bagi pers untuk bisa lebih berkarya secara profesional. Sayangnya boro-boro introspeksi, justru mereka menuntut permintaan maaf. Padahal seringkali sejumlah media juga menayangkan kritikan pedas yang sebagian malah cenderung tendensius, toh mereka tak disomasi dan diharuskan untuk minta maaf.
 
www.komahi.umy.ac.id
Sebenarnya tugas pers adalah memberikan informasi kepada publik secara lugas dan apa adanya tanpa ditambah-tambahi atau pun dikurang-kurangi. Pers di Indonesia sebenarnya sudah mampu melakukannya, terbukti dengan banyaknya pemberitaan yang berimbang dan berkualitas. Namun, seringkali kita melihat dan bisa menilai bahwa berita yang disampaikan tidak lugas, terkesan lebay, dan menggiring opini publik, bahkan sempat memprovokasi. Masih teringat jelas di benak saya saat hubungan Indonesia dan Malaysia memanas, sebuah stasiun televisi berkali-kali menayangkan video masa lalu yang berisi ganyang Malaysia. Memang negeri jiran itu telah banyak melukai hati rakyat Indonesia, tapi bukankah konfrontasi tak menyelesaikan masalah, bahkan malah menambah panjang dan memperumit masalah yang sudah ada? Bukankah perang itu sebuah wujud dari kekerasan? Sementara selang waktu yang tak berapa lama muncul pula berita kekerasan di sebuah daerah dan semua media sepakat bahwa kekerasan itu tak perlu terjadi dan dialog harus dikedepankan.
Awalnya saya menyambut baik hadirnya dua televisi berita yang selalu update dengan informasi terbaru itu. Masyarakat pun dimudahkan dengan banyaknya informasi yang ditampilkan. Bahkan menurut pihak tertentu hanya dua stasiun televisi yang dianggap masih baik untuk ditonton, yakni dua stasiun televisi berita yang sekarang ada. Sementara stasiun televisi lain dianggap lebih banyak menampilkan tayangan yang tak mendidik, seperti sinetron, infotainment, dan lain-lain.
Belakangan arah pemberitaan berubah, terlebih yang berhubungan atau bisa dihubungkan dengan gejolak politik akhir-akhir ini. Sejak kepentingan politik pemilik kedua stasiun televisi tersebut ikut ‘bermain’, sebagian pemberitaan seolah-olah ditujukan untuk meningkatkan citra pemiliknya. Berita baik tentang pemiliknya akan terus diangkat, sementara berita buruknya seperti tak pernah ada. Tak hanya itu, berita buruk tentang lawan politik termasuk pula pemerintahan yang berkuasa akan diangkat dan diperbincangan dengan para pengamat. Satu hal yang membuat saya malas melihatnya adalah tokoh dan pengamat yang diundang seringkali hanya itu-itu saja. Ada beberapa nama tertentu yang sering muncul seolah pekerjaan rutin mereka adalah sebagai bintang tamu. Jika di stasiun TV A si C yang sering muncul, maka di stasiun TV B si D lah yang sering muncul.
 
www.tv9.co.id
Oleh karena itu-itu saja yang muncul, akhirnya publik pun didorong untuk berpikiran seperti sudut pandang mereka. Padahal masalah yang sering dibahas adalah masalah hukum, politik, ekonomi, dan lain-lainnya yang notabene merupakan cabang ilmu sosial, dimana tak ada yang bisa dikatakan benar mutlak maupun salah secara mutlak. Saya mengapresiasi perbincangan dan perdebatan yang melibatkan orang-orang dengan sudut pandang yang berbeda, tapi saya sangat tidak setuju dengan pembicaraan yang hanya melibatkan dua orang, yakni pembawa acara dan seorang pengamat yang membahas suatu masalah tertentu. Apalagi sering kita saksikan biasanya ia selalu melihat dari sisi negatif suatu permasalah. Jika ada kabar baik para pengamat ini sering bilang itu sementara, semu, dan lain sebagainya. Kalau kabar buruk yang datang…pasti celaan yang akan keluar. Hey… apa yang dia katakan bukanlah alat pengukur kebenaran.
Untung saja sudah banyak masyarakat yang tak mudah terombang-ambing oleh berita ini dan itu. Masyarakat kini sudah banyak yang bisa menilai mana yang tepat dan mana yang tidak. Kita bisa lihat itu dari berbagai forum maupun tulisan dan tayangan di sejumlah media. Pemerintah memang masih punya banyak kekurangan di sana-sini. Masih ada segudang PR yang belum bisa diselesaikan. Namun, bukan berarti kita lantas mencela dan mencaci maki pemerintah dengan kata-kata yang sangat tidak mengenakkan.
Memang untuk menjadi pejabat publik  telinga harus kebal dari cercaan. Namun, sebagai seorang manusia biasa tentu juga punya perasaan dan batas kesabaran. Ada satu pengalaman pribadi saya, meskipun saya bukanlah pejabat, tapi pengalaman ini membawa suatu hikmah bagi saya. Suatu saat saya melakukan kesalahan, orang-orang yang tahu saya salah, tapi tidak mengenal saya secara pribadi akan mengatakan ini-itu yang bermacam-macam. Saya paham itu karena memang saya salah. Namun, saya cukup merasa sakit hati pada orang yang menuduh saya bermacam-macam, sesuatu yang tak pernah saya kerjakan. Sesuatu yang memang mungkin dikerjakan oleh seseorang yang melakukan kesalahan seperti saya, tapi sama sekali saya tak pernah melakukannya. No..way.
Saya jadi berpikir, baru seperti ini saja saya sudah merasa seperti ini. Bagaimana dengan para pejabat itu ya… bagaimana kalau saya ada di posisi mereka? Tentu saja masih ada pejabat yang baik, meski tak bisa dipungkiri banyak yang…ah saya tak bisa mengatakannya, tapi karena banyak hal prestasinya kurang memuaskan. Tentu sudah banyak yang mereka kerjakan, sudah banyak pengorbanan dan kerja keras yang dilakukan, tapi hanya sedikit saja yang nampak di permukaan. Sementara publik hanya melihat dari apa yang muncul di permukaan. Tentu saja jika yang muncul tak sesuai dengan harapan, maka caci makian akan muncul dimana-mana. Tentu saja kritik yang membangun diperlukan, tapi bukan kritik yang hanya sekedar mencela. Kita semua tentu bisa membedakan mana kritik yang benar-benar murni sebagai kritikan dan mana yang lebih cenderung pada celaan.
Sebagai masyarakat yang tak berdaya ini saya hanya bisa berusaha berpikiran jernih. Tidak dengan mudah begitu saja menerima apa yang telah ditayangkan di media. Kita sendiri bisa menilai mana berita yang lugas dan mana yang tidak. Paling tidak, saya tak mudah termakan oleh kabar ini dan itu. Saya hanya berharap, tak ada lagi media yang tersandera independensinya hanya karena kepentingan politik tertentu. Semoga saja pihak-pihak yang berwenang dapat memecahkan masalah ini. Bagaimanapun pers yang bebas merupakan bagian yang tak boleh hilang dalam masyarakat. Tentunya… kebebasan yang bertanggung jawab dan mencerdaskan bangsa.

Kamis, 17 Februari 2011

Refleksi 266 Tahun Kota Solo


Hari ini Kamis, 17 Februari 2011 Kota Surakarta atau yang lebih populer disebut sebagai Kota Solo genap berusia 266 tahun. Dinamika kehidupan kota ini terus berubah mengikuti perkembangan zaman yang memang terus berubah. Dari sebuah desa kecil di tepi sungai Bengawan Solo lalu menjadi ibu kota Kerajaan Mataram pada 266 tahun yang lalu, dan akhirnya meski bukan berstatus sebagai ibu kota kini Solo telah berkembang menjadi sebuah kota besar, dalam beberapa tahun ke depan mungkin Solo akan masuk dalam daftar kota metropolitan di pulau Jawa. Perkembangan kota Solo beberapa tahun terakhir ini  telah menunjukkan perkembangan ke arah itu.
Sebagai kota bekas pusat pemerintahan kerajaan Mataram, Solo diakui sebagai pusat kebudayaan Jawa di samping Yogyakarta. Kota ini juga memiliki banyak warisan budaya yang masih terjaga hingga saat ini. Selain bangunan-bangunan tua yang berarsitektur Jawa, Cina, dan Eropa yang tersebar di sejumlah sudut kota, sejumlah produk-produk budaya juga masih tetap hidup dan dijaga kelestariannya, seperti batik, wayang, gamelan, keris, tari tradisonal, masakan khas, dan lain sebagainya. Tak salah jika sejak tahun 2006 lalu Solo resmi diakui oleh Unesco sebagai kota warisan dunia, sebuah predikat yang jarang dimiliki oleh kota lainnya di Indonesia. Namun, upaya pelestarian budaya memerlukan perhatian yang serius, sebab serbuan budaya asing tak pelak telah membuat banyak generasi muda tak begitu akrab dengan budaya nenek moyangnya sendiri.
Menyelaraskan dengan perkebangan zaman, meski awalnya merupakan kota tradisional yang lekat dengan kebudayaan masa lalu Kota Solo kini terus membangun dan berkembang menjadi sebuah kota modern. Walau sempat terpuruk akibat krisis ekonomi dan kerusuhan pada tahun 1998  dan 1999, kini kota ini terus tumbuh dengan pesat. Secara administratif luas Kota Solo terbilang sempit untuk ukuran  kota besar, yakni hanya 44 km2,  tapi dengan jumlah penduduk yang telah mencapai angka 500 ribu jiwa kota ini merupakan kota terpadat di Jawa Tengah. Namun, kota Solo tak hanya tebatas pada wilayah administratifnya, secara fisik kota ini telah berkembang dan melebar jauh dari batas-batas administratifnya dan membentuk satu kesatuan kota yang lebih besar dan luas.
 
Solo Paragon, gedung tertinggi di Jawa Tengah; www.solopos,com
Dalam beberapa tahun terakhir ini Kota Solo tampak lebih semarak, selain karena banyaknya event berskala nasional maupun internasional yang semakin sering digelar, juga karena perkembangan fisik kota yang cukup pesat. Sejumlah hotel dan pusat perbelanjaan modern satu per satu hadir mewarnai berbagai sudut kota. Meski demikian pemerintah kota tidak melupakan konservasi terhadap pasar tradisional yang berjumlah 38 buah. Imej pasar tradisonal yang kotor dan kumuh sudah mulai berubah dengan upaya revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini. Meski demikian masih tersisa sejumlah pasar yang memerlukan perbaikan, tentunya dengan tetap memperhatikan aspirasi dari pedagang pasar itu sendiri dan warga kota lainnya. Para pedagang kaki lima pun juga diatur agar tidak mengganggu keindahan kota. Salah satu keberhasilan yang cukup fenomenal adalah keberhasilan pemkot memindahkan 989 PKL pada tahun 2006 dari Monumen 45 Banjarsari ke Semanggi tanpa kekerasan dan kerusuhan sedikitpun, serta menempatkan mereka di sebuah pasar yang baru dibangun yang diberi nama Pasar Klithikan Notoharjo.
 
Pasar Nusukan; www.tripsolo.co.cc
Sektor pariwisata menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Kini Solo telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di Indonesia, meskipun memang masih jauh di belakang Bali dan Yogyakarta. Paling tidak upaya bersama dari para stakeholder telah terlihat membuahkan hasil. Ini terlihat dari penghargaan yang diterima Kota Solo sebagai salah satu kota tujuan wisata favorit dan kota dengan pelayanan terbaik. Potensi besar Solo di bidang pariwisata kini sudah mulai dikelola dengan baik. Selain menjadikan diri sebagai kota wisata budaya dan belanja, pemerintah kota juga mencanangkan Kota Solo sebagai kota MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exibition). Sekali lagi, Kota Solo berhasil masuk dalam daftar kota MICE utama di Indonesia. Dengan demikian semakin banyak wisatawan yang datang ke kota ini. Tak hanya untuk berlibur tapi juga untuk mengikuti kegiatan-kegiatan MICE yang digelar di Kota Solo.
 
Citywalk di Jalan Brigjen Slamet Riyadi; www.skyscrapercity.com
Di samping perkembangan di sektor perdagangan dan pariwisata, warga kota juga dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas perkotaan yang belum pernah ada sebelumnya. Di sepanjang Jalan Brigjen Slamet Riyadi misalnya, kini dibangun kawasan pedestrian yang luas dan panjang serta nyaman digunakan oleh pejalan kaki. Selain dilindungi oleh banyaknya pepohonan rindang di sepanjang jalan, dalam jarak tertentu dijumpai street furniture yang dapat digunakan untuk duduk-duduk santai ataupun melepas lelah setelah berjalan kaki. Kini, area yang populer disebut citywalk itu dilengkapi pula dengan hot spot area. Masih di area yang sama, memanfaatkan rel kereta api yang ada di sepanjang jalan itu, kini pemerintah kota telah menghadirkan kereta api wisata bernama kereta api Jaladara. Kereta ini merupakan kereta uap di masa lalu dan melintas tepat di tepi jalan utama kota, sehingga menjadi  suatu pemandangan yang tak pernah dijumpai di kota lain di Indonesia pada saat ini. Kini akan diluncurkan pula railbus jurusan Solo-Wonogiri yang akan melintas di tempat yang sama sebagai upaya awal merintis penggunaan transportasi massal di Kota Solo. Menurut rencana pemerintah kota akan membuat jalur lingkar dalam kota dengan angkutan berbasis rel ini, meski kebutuhan sarana transportasi seperti ini memang belum terlalu mendesak, tapi akan jauh lebih baik antisipasi dilakukan sejak awal daripada menunggu kemacetan parah terjadi lebih dulu. Ada pula bis tingkat wisata untuk mengajak wisatawan berkeliling kota dengan suasana yang berbeda. 
 
Railbus moda transportasi baru di Kota Solo; www.semboyan35.com
Program pembangunan citywalk di Jalan Brigjen Slamet Riyadi kini diterapkan pula di ruas jalan lainnya, untuk saat ini sudah dilakukan di Jalan Kapten Mulyadi dan Jalan Perintis Kemerdekaan meskipun belum selesai secara menyeluruh sesuai dengan yang direncanakan. Di samping pembangunan pedestrian di sejumlah ruas jalan, pemkot juga telah melakukan penataan di sepanjang Jalan Mayor Sunaryo, tepat di sebelah timur bundaran gladag. Setiap malam jalan itu ditutup untuk kendaraan dan seluruhnya digunakan sebagai pusat kuliner dan jajanan malam dengan nama Gladag Langen Bogan (Galabo). Menyusul kesuksesan Galabo pemkot juga membuat Ngarsopuro Night Market di sepanjang Jalan Diponegoro di depan pintu masuk Kraton Mangkunegaran. Berbeda dari Galabo, tempat ini lebih merupakan tempat penjualan pernak-pernik dan kerajinan khas Kota Solo dan digelar hanya pada malam minggu saja. Belakangan pemkot juga akan membangun walking street di sepanjang Jalan Gatot Subroto mulai dari perempatan pasar pon di Jalan Brigjen Slamet Riyadi hingga perempatan di depan Singosaren Plasa. Kawasan koridor Jalan Gatot Subroto sepanjang 400 meter ini akan mengalami penataan ulang. Kawasan tersebut nantinya akan mirip dengan Malioboro Yogyakarta , yang menampung Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan menjual berbagai dagangan unggulan, yaitu batik, craft dan oleh-oleh khas kota Solo. Bedanya jika di Malioboro siang dan malam hanya ada di pinggir jalan saja, maka di sini setiap malamnya jalan akan ditutup dan dikhususkan bagi pejalan kaki. Rencananya Ngarsopuro Night Market akan digeser ke tempat ini, sementara bekas tempat itu akan full dijadikan ruang publik. Selain pembangunan-pembangunan tersebut, pemkot juga telah menyulap sejumlah tempat menjadi taman dalam upaya penghijauan kota. Bahkan pemkot juga mendorong penggantian pagar beton menjadi pagar hijau, selain untuk menjadikan Solo sebagai eco cultural city, program ini juga untuk menambah ruang terbuka hijau di Kota Solo yang saat ini baru mencapai 18% dari luas ideal sebesar 30%.
 
Walikota Solo Joko Widodo; www.solopos.com
Adalah walikota Solo Ir. Joko Widodo yang akrab disebut Jokowi merupakan arsitek dari perkembangan pesat Kota Solo belakangan ini. Jokowi yang sebelumnya adalah pengusaha mebel ini sering bepergian ke luar negeri dalam urusan bisnisnya. Dari situlah Jokowi mendapatkan inspirasi untuk membangun Kota Solo seperti kota-kota di Eropa dan Singapura. Solo memang memiliki potensi untuk dikembangkan seperti kota-kota itu. Misalnya di bidang transportasi Solo merupakan pertemuan jalur kereta api dari empat arah yang berbeda, ke utara terhubung ke Semarang dan Jakarta, ke timur menuju ke Surabaya, ke selatan sampai Wonogiri, serta ke barat terhubung ke Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Kota ini juga memiliki empat buah stasiun yang masih beroperasi. Dengan potensi ini sarana transportasi massal berbasis rel akan lebih mudah untuk diwujudkan. Saat ini sudah ada kereta komuter dan jarak dekat yang menghubungkan Solo dengan kota-kota di sekitarnya seperti Yogyakarta, Madiun, Semarang, dan Kutoarjo. Bisa saja ke depannya dibuat kereta komuter jarak pendek yang melayani pergerakan penglaju dari kabupaten-kabupaten di sekitar kota Solo. Saat ini baru jurusan Solo-Wonogiri yang akan segera direalisasikan, bukan tidak mungkin nantinya dari Solo ke bandara dan  Boyolali dapat menggunakan kereta api, mengingat jalur itu sudah ada dalam rencana, bahkan jalur Solo-Boyolali sudah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah, bahkan bisa pula dilakukan pembangunan rel dari Stasiun Palur di timur Kota Solo hingga ke Karanganyar Kota, sehingga seluruh ibu kota kabupaten di wilayah hinterland Kota Solo dapat terhubung dengan kereta api, dengan demikian beban jalan raya dapat dikurangi. Selain itu di Solo banyak terdapat jalur lambat yang khusus digunakan oleh pengendara  sepeda dan becak, apalagi di Solo masih banyak orang yang menggunakan sepeda untuk bepergian. Hanya saja jalan kaki sepertinya belum menjadi budaya warga Solo, itu yang membedakan kota ini dengan Singapura. Namun, tentu saja semua itu butuh proses, dengan dibangunnya banyak jalur pedestrian yang nyaman diharapkan akan lebih banyak lagi warga Solo yang memilih berjalan kaki. Semoga dengan menjadikan kota-kota itu sebagai model akan membuat Kota Solo tumbuh dengan teratur dan semakin nyaman untuk ditinggali dan dikunjungi. Jangan sampai menjadikan Jakarta sebagai role model dalam pembangunan kota, karena Jakarta terbukti belum berhasil membangun kota yang nyaman terutama di bidang transportasi.

Jumat, 04 Februari 2011

Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits


Beberapa waktu yang lalu saya sempat menulis tentang enam orang penyusun hadits yang utama. Dari situ kita dapat melihat betapa gigihnya para pendahulu kita dalam memperjuangkan kelestarian ilmu agama. Tentu saja mereka tidak berjalan sendiri. Ada peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh penting di masa lalu yang berada di balik terciptanya hadits dalam bentuk kitab seperti yang kita temui sekarang. Berikut ini sejarah singkat mengenai penulisan dan pembukuan hadits yang saya tulis kembali dari buku agenda saya. Lagi-lagi buku agenda saya yang jadi sumber. Memang buku agenda yang saya beli di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, Jawa Timur ini isinya sangat bermanfaat. Selain membahas kisah-kisah sejarah, di dalam buku agenda itu juga terdapat uraian tentang ilmu tajwid dan indeks Alquran. Salah satu kisah sejarah yang penting adalah sejarah penulisan dan pembukuan hadits ini.   
Kedudukan Sunah dalam Sistem Hukum Islam
Hukum Islam bertumpu dan bersumber pada dua macam sumber hukum yang utama, yaitu Alquran dan Sunnah (Alhadits). Alquran adalah kalamulloh yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan membacanya merupakan suatu amal ibadah. Allah menurunkan Alquran kepada Muhammad dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Alquran diturunkan melalui pengemban amanat wahyu (Jibril) dengan lafadz-lafadz yang asli dan diwahyukan kepada Nabi secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada waktu tidur, bukan pula ilham (bisikan pada jiwa), kemudian Alquran disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Sedangkan Alhadits dalam istilah para ahli hadits ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat, atau keadaan akhlak dan bentuk fisiknya Nabi. Adapun yang dimaksud dengan persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan di hadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan dan perbuatuan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau tapi beritanya sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak memberikan komentar dan ketidakingkarannya itu merupakan persetujuan (takrir).
Fungsi hadits terhadap Alquran itu sendiri adalah sebagai pen-syarah; merinci hal-hal yang disebutkan secara garis besar dalam Alquran, memberikan pembatas ayat-ayat yang masih umum, menjelaskan ayat-ayat yang pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang dikemukakan secara ringkas. Dalam memberikan penjelasan mengenai Alquran, terkadang Nabi memggunakan ucapan, perbuatan, maupun kedua-duanya, misalnya di dalam Alquran tidak ada penjelasan tentang jumlah, bilangan, bacaan, dan cara melakukan sholat, kemudian haditslah yang menjelaskannya, juga di dalam Alquran tidak dijelaskan tentang kapan zakat itu diwajibkan, berapa nishobnya, berapa banyaknya yang harus dikeluarkan, dan harta benda apa yang harus dikeluarkan zakatnya, maka haditslah yang menerangkan secara terperinci tentang hal itu.
Mengingat pentingnya hadits dalam syariat Islam dan fungsinya terhadap Alquran, para sahabat sangat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka mengafalkan lafadz-lafadz hadits dan maknanya, memahami dan mengetahui maksud dan tujuannya, juga mengamalkan isi dari hadits tersebut, termasuk mereka tahu berapa besarnya pahala dari menyampaikan hadits dari Rasululloh. Oleh karena itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh menyampaikan hadits yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa hadits itu merupakan ajaran agama yang wajib disampaikan kepada segenap manusia dan merupakan syariat universal yang abadi.
 
www.mediapalu.com
Penulisan Hadits pada Masa Rasululloh
Di masa Rasululloh masih hidup, hadits belum dibukukan dalam arti umum seperti Alquran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor:
1.    para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak lengkapnya alat-alat tulis yang mereka miliki,
2.   adanya larangan dari Rasululloh untuk menulis hadits, Rasululloh bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku selain Alquran, barangsiapa yang telah menulis sesuatu selain Alquran hendaklah dihapus.” (H.R. Muslim).
Boleh jadi larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Alquran atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Alquran, atau larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Namun, bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan akan tercampur aduknya hadits dengan Alquran, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits itu, maka dalam pengertian ini menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu diizinkan.
Tidak berselang lama setelah Rasululloh wafat, para penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan, khalifah Umar bin Khatab R. A. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau mengumpulkan para sahabat lannya dan mereka sepakat untuk membukukan hadits, tetapi nampaknya Allah belum menghendaki ide Umar bin Khatab itu terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahun 99 H.) beliau menginstruksikan pada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabiin yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah dan wafat pada tahun 120 H.). Setelah Ibnu Hazm adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Azzuhr (ulama terkemuka di Hijaz dan Syam, wafat pada tahun 124 H.). Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan pembukuan hadits karena merasa khawatir hadits akan hilang dan lenyap, sebab banyak sahabat yang meninggal atau karena khawatir tercampur baurnya hadits asli dan hadits palsu. Karena pada masa itu agama Islam telah meluas dan dianut oleh berbagai ras suku bangsa, muncul pula beragam kepentingan, dan adanya kelompok atheis yang ingin menghancurkan agama Islam dengan cara membuat hadits palsu yang menyesatkan demi mendukung kepentingan mereka.
Setelah generasi Azzuhri dan Abu Bakar bin Hazm berlalu, muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadits. Tercatat sebagai ulama penulis hadits antara lain
·         Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H. di Mekah,
·         Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 156 H. di Syam,
·         Abu Amr Abdurrahman Alazwa’i, wafat tahun 156 H. di Syam,
·         Sa’id bin Abi ‘Arubah, wafat tahun 151 H.,
·         Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H.,
·         Hammad bin Abi Salamah, wafat pada 176 H. di Basrah,
·         Muhammad bin Ishaq, wafat tahun 151 H.,
·         Imam Malik bin Anas, wafat pada tahun 179 H. di Madinah,
·         Abu Abdullah Sufyan Assauri, wafat pada tahun 161 H. di Kufah,
·         Abdullah bin Mubarak, wafat tahun 181 H. di Khurasan,
·         Hasyim bin Basyir, wafat pada 188 H. du Wasit,
·         Jarir bin Abdul Hamid, wafat pada tahun 188 H.,
·         Allais bin Sa’d, wafat tahun 175 H. di Mesir.
Pada masa ini pembukuan hadits masih campur aduk antara hadits dengan pendapat sahabat dan fatwa tabiin. Sayang dari banyaknya karya-karya pada masa itu hanya karya Imam Malik “Muwattho” yang kita jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan serangan keji yang menimpa negeri Islam seperti penyerbuan dan perampasan oleh pasukan tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya hadits yang telah dibukukan itu.
Zaman keemasan pembukuan hadits terjadi pada tahun 200-300 H., pada abad ini tidak hanya dilakukan pembukuan terhadap hadits Rasululloh saja, tetapi juga ada yang menghimpun kitab musnad dan ada pula sebagian penyusun hadits yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabat menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya), ulama terbaik yang menyusun kitab ini adalah Ahmad bin Hanbal. Pengarang lainnya yang mengikuti sistem musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang huruf pertama namanya adalah huruf “alif”, huruf “ba”, dan seterusnya. Ulama terbaik yang menyusun dengan cara demikian adalah  Imam Abdul Qasim Attabrani (wafat tahun 260 H.) dalam kitabnya Almu’jamul Kabir. Ulama lainnya yang menyusun hadits dengan sistem musnad ini ialah Ishak bin Rahawaih (wafat tahun 238 H.), Utsman bin Abi Syaibah (wafat tahun 239 H.), Ya’qub bin Abi Syaibah (wafat tahun 263 H.) dan lain-lain. Di samping itu, pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fiqih dan sebagainya. Ia memulai penyusunannya dengan kitab salat, zakat, puasa, haji, lalu bab gadaian, dan seterusnya.
 
www.filesfull.com
Para penulis dengan sistem fiqih ini pun di antaranya ada yang:
a.   Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat hadits sahih semata, seperti Imam Bukhori dan Muslim,
b.  Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadits sahih saja, tetapi mereka memasukkan pula hadits-hadits sahih dan hasan, bahkan hadits dhoif sekalipun. Sewaktu-waktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadits yang dimuatnya. Namun, pada saat yang lain mereka tidak menjelaskannya. Hal ini karena mereka telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadits secara lengkap dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanad-sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits-hadits sahih, hasan, dan dhoif.
Tugas membedakan hadits antara yang sahih, hasan, dan dhoif bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar hadits pada waktu itu, terlebih lagi bagi para ulama. Contoh utama bagi kitab hadits yang disusun menurut sistematika fiqih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para penghimpun sunan (hadits) yang empat, yaitu Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Abad ketiga Hijiyah ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadits dan pengumpulannya. Pada abad ini muncul sejumlah besar ulama kenamaan bidang hadits dan kritikus hadits. Pada masa ini pulalah terbit “sinar terang” Kutubus Sittah dan kitab semisal yamg memuat hampir semua kecuali sebagian kecil hadits Nabi dan yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fiqih, mujtahid, ulama, dan pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu, ahli pendidikan, ahli moral, serta ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka perlukan.