Sekitar tiga bulan lalu saya sudah pernah memposting ketentuan mengenai
talak dalam 2 bagian. Saya pikir pembahasan mengenai talak akan berhenti cukup
sampai di situ saja. Namun, beberapa hari lalu ketika mengikuti pengajian di
sebuah majelis taklim LDII saya kembali mendapat banyak pengetahuan baru
tentang talak. Ternyata hukum mengenai talak ini memang benar-benar banyak,
bisa dibilang cukup rumit. Hal yang mungkin belum diketahui oleh banyak pasangan
yang telah menikah. Saya jadi lebih bersemangat lagi untuk menyiarkan ilmu ini.
Adapun pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan tentang masalah khulu’.
Khulu’ adalah tuntutan cerai dari seorang istri kepada suaminya. Jika
seorang istri merasa tidak mampu lagi menjalankan kewajiban sebagai istri
karena alasan yang dibenarkan oleh syariat, maka dia boleh mengajukan tuntutan
cerai kepada suaminya dengan mengembalikan mas kawin dan lain-lain sesuai
dengan kesepakatan dari suami. Ditinjau dari segi prakteknya hukum khulu’ ada 3
macam:
1. Talak Murni
Khulu’ dihukumi talak murni jika suami tidak mau menerima pengembalian
tebusan dari istrinya, kemudian ia menceraikan istrinya dengan cara talak biasa
yaitu mengucapkan lafadz “tholaqtuki” atau mengucapkan lafadz lainnya
dengan niat talak. Adapun cara-cara dan syarat-syaratnya seperti yang telah
dijelaskan dalam penjelasan tentang talak pada
bagian sebelumnya.
2. Tholaq bainun bainunatas shughra
Khulu’ dihukumi tholaq bainun bainunatas shughra maksudnya jatuh talak sesuai dengan hitungan talak seperti biasa tetapi
dalam masa idah suami tidak boleh merujuk, jika suami ingin kembali kepada
istrinya maka harus dengan nikah baru (baik dalam masa idah maupun di luar masa
idah). Adapun jika yang menikahinya adalah orang lain (bukan suaminya) maka
pelaksanaan nikahnya harus menunggu hingga masa idahnya habis. Dihukumi seperti
ini jika suami mau menerima pengembalian tebusan dari istri tetapi dia
menceraian istrinya dengan cara talak biasa, yaitu dengan mengucapkan lafadz “tholaqtuki”
atau lafadz-lafadz lainnya dengan niat talak, jika ini yang dilakukan maka
hukumnya telah jatuh satu kali talak. Jika sebelumnya dia pernah mentalak 1,
maka khulu’ ini menambah hitungan talaknya menjadi 2 kali, dan jika sebelum khulu’ dia sudah pernah mentalak 2 kali maka
mantan suami tidak boleh menikahinya lagi kecuali jika mantan istrinya itu
telah dinikah oleh laki-laki lain dan sudah dijimak serta sudah merasakan
nikmatnya kemudian dicerai. Seperti yang sudah saya tulis di bagian sebelumnya,
perkara ini tidak boleh dibuat-buat dengan tujuan agar kedua mantan pasangan
suami istri itu bisa bersatu kembali.
Sumber gambar:
www.immunk.com
Adapun dalam masa idah talak 1 dan 2 suami tidak boleh merujuk, ini
dikarenakan istri telah menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian suami
(berupa mas kawin maupun harta lainnya sesuai dengan kesepakatan). Berdasarkan
dalil yang artinya, “Sesungguhnya istri Tsabit bin Qois dia datang kepada
Rasulullah SAW maka dia berkata, “Wahai Rasullah, suamiku (Tsabit bin Qois) aku
tidak mencela dalam hal budi pekerti maupun agamanya, akan tetapi aku benci
kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah bersabda (kepada istri Tsabit bin
Qois), “Apakah kamu sanggup untuk mengembalikan kebun milik Tsabit bin Qois
(yang telah diberikan sebagai mas kawin kepadamu)?” Istri Tsabit bin Qois
menjawab, “Ya, saya sanggup mengembalikannya.” Maka Rasulullah SAW bersabda
(kepada Tsabit bin Qois), “Terimalah kebun itu (dari istrimu) dan ceraikanlah
dia satu kali talak.” Jika prakteknya seperti dalam hadits ini yaitu menerima
pengembalian tebusan dari istri kemudian mentalaknya, maka jatuh hukum talak.
3. Khulu’ murni
Faskhun nikah artinya hukum nikahnya rusak atau ikatan
nikahnya lepas. Dihukumi seperti ini jika suami mau menerima pengembalian
tebusan dari istri kemudian dia berniat khulu’ dan mengucapkannya dengan lafadz “khola’tuki” (aku melepas ikatan
nikahmu) atau sejenisnya seperti “fasakhtuki” (aku merusak ikatan
nikahmu), “fadaituki” (aku menerima tebusanmu), dan lain-lain. Inilah
yang disebut khulu’ murni yang bisa dilakukan kapan saja, baik dalam keadaan suci maupun haid.
Dalam Surat Albaqarah: 229 disebutkan, “Jika kamu kuatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak dosa atas keduanya
di dalam tebusan yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Demikianlah
hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya, barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang dzolim.” Ayat tersebut adalah dalil asal untuk hukum khulu’ murni yang dalam prakteknya tidak
bercampur dengan talak dan juga tidak digolongkan sebagai jenis talak.
Sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas tentang Surat Albaqarah: 229-230 dalam Tafsir
Ibnu Katsir, yang artinya, “Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Ibrahim bin Sa’ad bin Abi
Waqash bertanya kepadanya, Ibrahim berkata, “Ada seorang laki-laki telah
menceraikan istrinya 2 kali, kemudian istrinya sudah khulu’ dari suaminya, apakah setelah itu dia
boleh menikahinya lagi?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, karena khulu’ bukan talak. Allah telah menyebutkan talak
(talak 1 dan 2) di awal ayat (Albaqarah: 229) dan (talak 3) di akhir ayat
(Albaqarah: 230) sedangkan khulu’ ada di antara demikian talak, karena itu maka khulu’ bukan talak.” Kemudian Ibnu Abbas membaca
ayat (yang artinya), “Talak (yang boleh dirujuk lagi) itu 2 kali, maka
menahanlah dengan baik atau melepaslah dengan baik… .” (Q. S. Albaqarah: 229)
dan membaca, “Maka jika mentalak dia (suami) maka istri itu tidak halal baginya
(suami) dari setelahnya (jatuh talak 3) sehingga ia (istri) menikah pada suami
selainnya (suami).” (Q. S. Albaqarah: 230) Inilah yang menjadi pendapat Ibnu
Abbas bahwa khulu’ bukanlah talak tetapi faskhun nikah (merusak nikah).
Adapun masa idah untuk proses khulu’ jenis ke-2 dan 3 di atas adalah satu
haidan. Satu haidan ini disebut istibrok, ditujukan untuk mengetahui apakah wanita
yang di-khulu’ tersebut hamil atau tidak, lalu dia boleh
menikah dengan orang lain setelah selesai satu haidan. Berdasarkan dalil yang
artinya, “Dari Rubi’ binti Mu’awidz bin ‘Afrok sesungguhnya dia telah minta khulu’ pada zaman Nabi SAW maka Nabi
memerintahkannya atau dia diperintah untuk melaksanakan idah satu haidan.” (H.
R. Tirmidzi Kitabut Talak (Shohih)) Sampai di sini yang bisa saya
tuliskan, semoga bermanfaat.