Beberapa waktu yang lalu, aku naik bus dari Jakarta ke Bogor, saat berhenti di sebuah SPBU di tol Jagorawi buat ngisi solar, pandangan mataku tertuju pada mobil di sebelah, hati kecilku pun sontak mengatakan, “Hah...di jalan tol kayak gini, masih juga jual premium? Padahal yg beli di sini kan mobil doank. Kok, begini ya?” Betapa tidak, mobil-mobil pribadi yang sudah tentu dimiliki masyarakat menengah ke atas juga ikut-ikutan “makan” subsidi pemerintah. Bukannya nggak boleh ikutan menikmati subsidi, tapi bayangkan triliunan uang subsidi ini lebih banyak dinikmati orang-orang berada. Uang itu tentu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk keperluan lainnyayang lebih vital. Disparitas harga premium dengan BBM non subsidi memang sangat besar. Bahkan harga BBM beroktan 92 dan 95 dari semua produsen yang ada (Pertamina, Shell, Petronas, dan Total) berada di kisaran dua kali lipat BBM bersubsidi. Mungkin itu salah satu sebab mengapa mereka memilih membeli premium, toh tak ada aturan yang melarangnya.
Mesin Pengisi BBM
sumber gambar: http://rajufebrian.wordpress.com
Kita tentu tahu, pemerintah menanggung biaya yang begitu besar untuk subsidi BBM, lebihdari 100 Triliun, wow...jumlah yang lebih dari cukup untuk membangun Jalan Tol Trans Jawa, apalagi jalur ganda kereta api. Tak bisa dipungkiri, subsidi itu tentu sangat membantu masyarakat yang tak mampu. Namun, bila dihitung-hitung lagi berapa sih penggunaan BBM oleh rakyat miskin, bandingkan sama yang kemana-mana duduk dalam mobil. Lebih parah lagi di kota-kota besar yang sering macet, seperti Jakarta dan Bandung misalnya, begitu banyak subsidi yang dihambur-hamburkan karena konsumsi BBM tentu akan membengkak di tengah kemacetan seperti itu.
Lalu apakah langkah yang telah diambil pemerintah? Sepertinya belum ada langkah kongkret yang dilakukan terkait besarnya subsidi yang tak tepat sasaran ini. Baru ada rencana pembatasan BBM bersubsidi yang sudah direncanakan untuk dilakukan tahun depan. Akan tetapi, setiap kebijakan yang dikeluarkan seringkali diikuti pula oleh ide-ide “kreatif” untuk mengakalinya. Apalagi jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan disparitas harga. Entah seberapa efektifkah langkah pembatasan itu, kita tunggu saja realisasinya nanti.
Pemerintah memang dalam pilihan sulit, jika tak menaikkan harga BBM bersubsidi maka anggaran negara bisa jebol, jika harga dinaikkan sudah bisa dipastikan muncul reaksi negatif dari masyarakat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun akan jatuh, terlebih pemerintah kini sedah dihantam oleh berbagai kabar miring dan isu-isu yang menyudutkan posisinya. Opsi menaikkan harga BBM sepertinya mustahil untuk dilakukan, bahkan meski hanya 500 rupiah sekalipun. Kebijakan ini memang sangat sensitif, butuh political will yang kuat.
Demo Menolak Kenaikan Harga BBM
sumber gambar: www.scientiarum.com
Di sisi lain, kemacetan di kota-kota besar, terutama Jakarta semakin parah. Semakin banyak BBM terbuang percuma di jalanan. Lalu muncullah ide untuk menaikkan pajak kendaraan, sistem ERP, dan lain sebagainya termasuk membangun sarana angkutan umum massal yang nyaman. Namun, kenyataannya sarana angkutan umum massal yang aman dan nyaman masih jauh dari harapan, masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadinya masing-masing, bahkan meski harus terjebak macet setiap hari pun mereka rela daripada harus berdesak-desakan naik bus atau kereta.
Sempat terpikir di benak saya, bagaimana sih caranya mengurangi subsidi BBM sekaligus mengurangi kemacetan. Daripada menelurkan banyak aturan yang ribet, yang susah untuk dilakukan di lapangan, siapa tahu hal-hal berikut ini bisa jadi bahan pertimbangan.
1. Melakukan kampanye bangga tanpa subsidi
Meski bersifat persuasif dan tidak memaksa, paling tidak cara ini dapat membangkitkan kesadaran sebagian masyarakat untuk menggunakan BBM non subsidi. Walau mungkin hasilnya tak sesignifikan dibandingkan jika dikeluarkannya suatu aturan, tapi kesadaran dari masing-masing individu cenderung bisa bertahan lama, terlebih jika telah menjadi idealisme seseorang.
2. Melakukan pendekatan dengan industri otomotif
Selama ini industri otomotif telah banyak terbantu perkembangannya dengan kebijakan subsidi BBM yang diberikan oleh pemerintah. Murahnya harga bahan bakar tentu akan meningkatkan permintaan kendaraan bermotor baru. Tentu saja pemerintah akan kesulitan untuk melakukan pembatasan produksi kendaraan, toh permintaan terus mengalir. Jangankan kendaraan, membatasi produksi rokok yang jelas-jelas membahayakan kesehatan saja tak bisa dilakukan. Satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah meminta industri otomotif untuk membuat mesin-mesin kendaraan yang tak cocok memakai BBM bersubsidi. Misalnya dengan membuat rasio kompresi kendaraan di atas 9,0:1, dengan rasio itu maka kendaraan hanya cocok menggunakan bensin yang beroktan 92 ke atas, artinya premium yang beroktan 88 tak sesuai jika digunakan. Mungkin opsi ini kurang tegas secara langsung dalam mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, tapi paling tidak pemilik kendaraan akan berpikir dua kali untuk menggunakan premium, karena jika terus-terusan digunakani akan berdampak buruk bagi mesin kendaraan mereka.
3. Hanya menjual BBM non subsidi di jalan tol dan di kota-kota metropolitan
Opsi ini selain mengurangi banyaknya subsidi BBM yang terbuang percuma di tengah kemacetan, juga mungkin bisa mengurangi permintaan kendaraan baru yang terus ada setiap harinya, sehingga diharapkan dapat mengurangi kemacetan. Tentunya dengan catatan tersedia moda transportasi alternatif yang lebih murah dan nyaman. Daripada menaikkan pajak kendaraan yang hanya dirasakan setahun sekali, menaikkan harga bahan bakarnya akan lebih terasa dalam keseharian pengguna kendaraan tersebut.
Kemacetan semakin memperparah pemborosan subsidi BBM
sumber gambar: www.berita8.com
4. Membangun sarana transportasi massal yang nyaman
Banyaknya pengguna kendaraan pribadi tentu akan berdampak pada kebutuhan BBM. Dengan kondisi seperti sekarang dimana sebagian masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi ditambah kemacetan yang jadi makanan sehari-hari, tentu jumlah BBM yang diperlukan sangatlah besar. Sementara masyarakat sendiri juga bebas untuk menggunakan BBM bersubsidi, sehingga beban subsidi yang ditanggung negara sangatlah besar. Tanpa adanya moda transportasi lain yang menawarkan kenyamanan, jangan harap masyarakat mau meninggalkan kendaraan pribadinya.
Hal-hal di atas memang keluar dari pikiran seorang rakyat biasa yang memang awam dalam bidang ini. Namun, ini kan zamannya keterbukaan, siapa saja boleh usul kok, betul?...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)