Pages

Senin, 23 April 2012

Ketika Ateisme Merenggut Keyakinanmu (Bagian 1)

Ateisme...tentu Anda sudah tahu bukan? Menurut Wikipedia Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan. Bagi mereka  akal dan logika merupakan pengukur kebenaran. Sesuatu yang tak bisa diterima dengan akal dianggap sebagai bohong belaka.
Dalam kehidupan bermasyarakat, saya jarang menjumpai orang-orang seperti ini. Namun, pernah suatu ketika saya berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang cukup jauh lebih tua dari saya. Ia bilang selama belum melihat akhirat dengan mata kepala sendiri ia tak akan mempercayai keberadaan akhirat. Hmm... itu artinya ia menyatakan seumur hidupnya tak akan mempercayai adanya akhirat. Itu berarti pula ia tak percaya dengan kebangkitan dari kubur. Akan tetapi, saat itu saya tak bertanya apakah ia percaya adanya Tuhan atau tidak, jadi saya tak berani menyimpulkan bahwa ia tak percaya akan adanya Tuhan, walaupun orang-orang seperti ini memang punya kecenderungan ke arah tersebut. Orang-orang seperti ini lebih mudah dijumpai di dunia maya daripada di kehidupan nyata, terutama di forum-forum online. Karena di media itu setiap orang bebas berpendapat dan mengekspresikan dirinya tanpa sungkan-sungkan, tak seperti di dunia nyata yang mungkin akan dibuntuti dengan sebuah konsekuensi atas ucapannya.
Kaum ateis dalam bahasa agama Islam disebut sebagai orang-orang kafir dan banyak disinggung di dalam Alquran, dalam Surat An Naml: 67 disebutkan:
Artinya:
67. Berkatalah orang-orang yang kafir: "Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?

Nah...tak salah kan jika saya bilang kaum ateis adalah sama dengan orang-orang kafir  yang banyak disebut di dalam Alquran. Mereka pun tak percaya akan kehidupan setelah mati. Bagi mereka kematian adalah akhir dari kehidupan. Adalah tidak mungkin seseorang yang sudah hancur akan dihidupkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup di dunia, sangat tidak masuk akal. Ya’...itulah yang juga telah dikatakan oleh orang-orang kafir zaman para nabi dahulu, persis sama.
Logo Ateis; Sumber Gambar : belacansedap.blogspot.com

Eits... tunggu sebentar, pernahkah pikiran seperti itu hinggap di benak Anda? Apakah Anda secara diam-diam juga berpikiran demikian? Apakah Anda mewujudkan pemikiran itu dalam perbuatan Anda? Ataukah Anda terjebak dalam sebuah dilema, antara terus menjalankan kewajiban agama dengan taat tapi di sisi lain pikiran-pikiran itu telah melemahkan keyakinan Anda? Dan apakah ada dilema pada diri Anda antara ingin yakin tapi pikiran-pikiran itu terus menghantui diri Anda?
Banyak orang bilang ketika seseorang sudah mulai “mlenceng” atau kurang benar dalam menjalankan agama --yang biasa terlihat dari ibadah dan kebiasaan sehari-harinya-- maka orang itu perlu dinasihati. Namun, apakah itu efektif? Bisa saja, tergantung bagaimana isi dan cara penyampaian nasihat tersebut. Namun, alih-alih mengubah pandangannya, orang yang sudah telanjur terasuki dengan paham-paham ateis seringkali kekeuh dengan keyakinannya tersebut. Bagi orang-orang yang sebelumnya yakin dan taat dalam menjalankan agamanya bisa mengalami kegoncangan keyakinan ketika pikiran-pikiran itu mulai merasuki dirinya plus dibumbui dengan berbagai prasangka. Bumbu-bumbu prasangka itu bisa jadi membuat keyakinannya semakin terguncang dan membuatnya semakin ragu-ragu. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca suatu buku, tapi saya lupa judulnya. Di situ dituliskan bahwa anak-anak usia SMA bisa mengalami kegoncangan dalam  keyakinannya terhadap Tuhan. Namun, bukan berarti hal itu hanya terjadi pada orang-orang seusia mereka, bisa saja terjadi pada anak-anak usia SMP maupun orang dewasa.
Lalu...bagaimanakah cara untuk melenyapkan pikiran-pikiran itu? Nasihat? Bisa saja, tentunya dengan muatan isi nasihat yang tepat. Tak bisa kita hanya mengatakan, “Kamu harus yakin, ini kan ada dalilnya di Alquran” (Bagaimana bisa percaya jika dengan Alquran saja orang tersebut masih ragu) “Kamu harus yakin, percaya dengan sepenuh hati, kalau yakin berarti iman, kalau tidak berarti kafir, kalau ragu-ragu berarti munafik.” (Lah...pemberian label seperti ini justru akan membuat pikiran orang tersebut semakin tidak tenang, di satu sisi ia ingin yakin tapi di sisi lain keragu-raguan telah menguasai pikirannya. Kata-kata tersebut justru berpotensi membuat pikirannya lebih stres. Lalu apa yang harus dilakukan?

                                                            --Bersambung--

Berhubung materi ini cukup panjang, jadi tak bisa saya tuliskan dalam satu kali postingan,  insya Allah dalam waktu dekat akan segera saya posting kelanjutannya. Jadi silakan menanti :)

4 komentar:

  1. Balasan
    1. iya kakek... :D
      nantikan kisah selanjutnya yah... :)

      Hapus
  2. wow, mantab.. tp spasi nya terlalu dekat mas, susah bacanya..Hhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih :)
      owh yg kayak gini terlalu dekat yah... tulisannya terlalu kecil juga mungkin ya hehe, insya Allah kedepannya dirubah deh :)

      Hapus

Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)