Pages

Kamis, 27 Juni 2013

Ekspor Asap, Presiden Minta Maaf

Akhir-akhir ini pemberitaan tentang kebakaran hutan sedang marak di media massa. Kebakaran hutan yang memang sengaja dibuat untuk membuka lahan perkebunan itu seakan telah menjadi  rutinitas tahunan di Pulau Sumatera, terutama di wilayah Provinsi Riau. Setiap musim kemarau tiba, maka ramai-ramai pembakaran lahan dan hutan dilakukan.  Pembakaran lahan sebagai alternatif termurah seakan menjadi cara favorit perusahaan-perusahaan perkebunan untuk membuka lahan. Demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, mereka mengabaikan kondisi lingkungan dan penderitaan jutaan orang akibat kabut asap yang ditimbulkannya.
Entah kenapa, walaupun setiap tahun menjadi berita, setiap tahun membuat orang menderita, tapi tetap saja permasalahan ini tak kunjung bisa diselesaikan.  Walaupun ramai-ramai dimana-mana toh tahun depannya kebakaran terulang lagi, lagi, dan lagi. Tak bisakah pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk menekan perusahaan-perusahaan perkebunan nakal itu?  
Kabut asap terlihat di kawasan jembatan Esplanade, Singapura. (Sumber: Straits Time)
Di lain pihak, jutaan masyarakat di wilayah Riau, Kepri, Malaysia, dan Singapura telah menjadi korban kabut asap yang mencemari udara di lingkungan mereka. Bahkan hari ini kabut asap telah sampai ke Thailand. Kabut asap berpotensi menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti paru-paru, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), iritasi mata, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan betapa marahnya warga yang mengalaminya. Bahkan kabut asap di tahun 2013 ini disebut-sebut sebagai yang terparah dalam 14 tahun terakhir, hingga akhirnya negara tetangga mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Indonesia. Lalu dibalas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan permintaan maaf kepada Malaysia dan Singapura atas kabut asap yang datang dari Indonesia.
Banyak warga yang mendukung sikap Presiden SBY itu. Namun, banyak pula yang mengkritik sikap presiden tersebut. Ada yang mengatakan presiden terlalu gegabah, presiden lebay, ada juga  yang mengatakan presiden menunjukkan Indonesia lemah di mata tetangga, bahkan ada pula yang mengatakan SBY  mengejar pencitraan. Hey... dimanakah rasa malu kita sebagai negara? Sudah jelas-jelas setiap tahun kita selalu kecolongan. Walaupun toh ada perusahaan asal Malaysia dan Singapura yang ikut andil dalam melakukan pembakaran, bukan berarti kita harus acuh tak acuh atas penderitaan warga kedua negara itu. Memangnya tak adakah perusahaan dan orang Indonesia yang terlibat? Tetap saja, selain para pembakar yang paling bersalah, pemerintah baik pusat maupun pemda setempat juga memiliki andil kesalahan karena tak mampu mengendalikan mereka. Sebab, kejadian ini bukan hanya sekali, tapi terus terjadi berulang-ulang setiap tahun.
Ibaratkan saja, ketika anak kita membuat keributan di rumah tetangga, apakah kita hanya sekedar bilang, “Dik, jangan nakal ya, nggak boleh ngganggu tetangga!” dan berhenti sampai di situ saja walaupun anak kita berulang-ulang melakukannya? Apakah karena tak ingin dianggap lebih rendah lalu kita menolak meminta maaf atas kesalahan anak kita? Tidak bukan?
Dalam pandangan saya, meminta maaf bukan berarti mempunyai kedudukan lebih lemah atau lebih rendah. Akan tetapi, meminta maaf dilakukan atas kesalahan yang kita sadari telah kita perbuat. Jika kita sebagai negara tak bersedia meminta maaf karena merasa lebih kuat, maka suatu saat ketika Indonesia menjadi negara yang maju dan kuat, Indonesia akan sewenang-wenang memperlakukan negara lain. Lalu, apa bedanya kita dengan penjajah?
Beberapa langkah sudah dilakukan oleh pemerintah, yakni menyiram air langsung ke lokasi kebakaran dan membuat hujan buatan untuk memadamkan api. Selain itu sejumlah orang yang diduga sebagai pelaku pembakaran telah ditangkap. Namun, tentunya tidak sampai ke situ saja. Pihak yang berwajib juga harus mengusut perusahaan-perusahaan mana saja yang bermain di situ. Bila perlu cabut izinnya dan penjarakan otak pembakaran. Mungkin saja orang-orang yang telah tertangkap saat ini hanyalah buruh yang dibayar untuk membakar lahan, mereka hanyalah orang-orang bawahan yang menuruti perintah atasannya. Selama biang kerok aslinya belum tertangkap, belum diberi ganjaran yang setimpal, dan masih bebas kemana-mana, maka selama itu pula pembakaran akan terus berulang. Just my 2 cents.


Jumat, 07 Juni 2013

Haramnya Jual Beli 'Inah

Dewasa ini perkembangan bisnis sangatlah pesat. Ada beragam model transaksi bisnis dan perdagangan yang dilakukan masyarakat setiap harinya. Tak jarang, dari sekian banyak jenis transaksi itu, ada yang mutlak bisa disebut sebagai riba dan ada pula yang terlihat “bersih” tetapi sebenarnya mengandung unsur riba. Sebagai umat muslim, tentunya kita harus mewaspadai dan menghindari praktik-praktik perdagangan yang mengandung unsur riba tersebut. Salah satunya adalah jual beli ‘inah.

Sumber gambar: cinikironk.blogspot.com

Jual beli ‘inah adalah menjual barang dagangan dengan kredit. Kemudian penjual membelinya kembali dengan keuntungan dan harga di bawah harga kredit tersebut. Misalnya, A datang kepada B untuk meminjam uang, tetapi B mengatakan bahwa ia tidak menghutangkan uang  tapi mengkreditkan emas. Kemudian B menjual gelang emas seharga 5 juta kepada A dengan kredit selama 6 bulan. Sebelum B menerima pembayaran dari A, B membelinya kembali dari A secara kontan seharga 3 juta.
Jual beli seperti  ini fasid/bathil, tidak sah karena gelang emas yang diperjualbelikannya hanyalah sebagai alat bantu rekayasa hukum. Sama halnya dengan meminjamkan uang 3 juta dan minta kembali 5 juta. Maka hukumnya adalah riba.
Nah... bagi kita umat muslim, hendaknya berhati-hati dalam melakukan transaksi bisnis, tak hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam hal pinjam-meminjam, gadai, dan lain sebagainya. Karena dosa riba tidak hanya dikenakan pada pihak yang memakan harta riba, tapi semua orang yang terlibat di dalam transaksi riba itu, bahkan juru tulis yang hanya bertugas mencatat itupun juga mendapatkan dosa. Semoga bermanfaat. J