Akhir-akhir ini pemberitaan tentang kebakaran hutan sedang marak di
media massa. Kebakaran hutan yang memang sengaja dibuat untuk membuka lahan
perkebunan itu seakan telah menjadi
rutinitas tahunan di Pulau Sumatera, terutama di wilayah Provinsi Riau. Setiap
musim kemarau tiba, maka ramai-ramai pembakaran lahan dan hutan dilakukan. Pembakaran lahan sebagai alternatif termurah seakan
menjadi cara favorit perusahaan-perusahaan perkebunan untuk membuka lahan. Demi mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya, mereka mengabaikan kondisi lingkungan dan penderitaan jutaan
orang akibat kabut asap yang ditimbulkannya.
Entah kenapa, walaupun setiap tahun menjadi berita, setiap tahun
membuat orang menderita, tapi tetap saja permasalahan ini tak kunjung bisa
diselesaikan. Walaupun ramai-ramai
dimana-mana toh tahun depannya kebakaran terulang lagi, lagi, dan lagi. Tak bisakah
pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk menekan perusahaan-perusahaan
perkebunan nakal itu?
Kabut asap terlihat di kawasan jembatan Esplanade, Singapura. (Sumber: Straits Time)
Di lain pihak, jutaan masyarakat di wilayah Riau, Kepri, Malaysia, dan
Singapura telah menjadi korban kabut asap yang mencemari udara di lingkungan
mereka. Bahkan hari ini kabut asap telah sampai ke Thailand. Kabut asap berpotensi
menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti paru-paru, infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA), iritasi mata, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan
betapa marahnya warga yang mengalaminya. Bahkan kabut asap di tahun 2013 ini disebut-sebut sebagai yang terparah dalam 14 tahun terakhir, hingga akhirnya negara tetangga
mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Indonesia. Lalu dibalas oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dengan permintaan maaf kepada Malaysia dan Singapura
atas kabut asap yang datang dari Indonesia.
Banyak warga yang mendukung sikap Presiden SBY itu. Namun, banyak pula
yang mengkritik sikap presiden tersebut. Ada yang mengatakan presiden terlalu
gegabah, presiden lebay, ada juga yang
mengatakan presiden menunjukkan Indonesia lemah di mata tetangga, bahkan ada
pula yang mengatakan SBY mengejar
pencitraan. Hey... dimanakah rasa malu kita sebagai negara? Sudah jelas-jelas
setiap tahun kita selalu kecolongan. Walaupun toh ada perusahaan asal Malaysia
dan Singapura yang ikut andil dalam melakukan pembakaran, bukan berarti kita
harus acuh tak acuh atas penderitaan warga kedua negara itu. Memangnya tak
adakah perusahaan dan orang Indonesia yang terlibat? Tetap saja, selain para pembakar
yang paling bersalah, pemerintah baik pusat maupun pemda setempat juga memiliki
andil kesalahan karena tak mampu mengendalikan mereka. Sebab, kejadian ini
bukan hanya sekali, tapi terus terjadi berulang-ulang setiap tahun.
Ibaratkan saja, ketika anak kita membuat keributan di rumah tetangga,
apakah kita hanya sekedar bilang, “Dik, jangan nakal ya, nggak boleh ngganggu
tetangga!” dan berhenti sampai di situ saja walaupun anak kita berulang-ulang
melakukannya? Apakah karena tak ingin dianggap lebih rendah lalu kita menolak
meminta maaf atas kesalahan anak kita? Tidak bukan?
Dalam pandangan saya, meminta maaf bukan berarti mempunyai kedudukan
lebih lemah atau lebih rendah. Akan tetapi, meminta maaf dilakukan atas
kesalahan yang kita sadari telah kita perbuat. Jika kita sebagai negara tak
bersedia meminta maaf karena merasa lebih kuat, maka suatu saat ketika Indonesia
menjadi negara yang maju dan kuat, Indonesia akan sewenang-wenang memperlakukan
negara lain. Lalu, apa bedanya kita dengan penjajah?
Beberapa langkah sudah dilakukan oleh pemerintah, yakni menyiram air
langsung ke lokasi kebakaran dan membuat hujan buatan untuk memadamkan api. Selain
itu sejumlah orang yang diduga sebagai pelaku pembakaran telah ditangkap. Namun,
tentunya tidak sampai ke situ saja. Pihak yang berwajib juga harus mengusut perusahaan-perusahaan mana saja yang bermain di situ. Bila perlu cabut
izinnya dan penjarakan otak pembakaran. Mungkin saja orang-orang yang
telah tertangkap saat ini hanyalah buruh yang dibayar untuk membakar lahan, mereka
hanyalah orang-orang bawahan yang menuruti perintah atasannya. Selama biang kerok
aslinya belum tertangkap, belum diberi ganjaran yang setimpal, dan masih bebas
kemana-mana, maka selama itu pula pembakaran akan terus berulang. Just my 2
cents.