Musim penghujan telah tiba. Di saat hujan turun, sebagian orang merasa
gembira karena rahmat Tuhan turun, sebagian lagi merasa was-was karena khawatir
kebanjiran, dan sebagian lagi bersiap untuk terjebak macet di jalan. Ya… hujan
yang turun seringkali menimbulkan genangan di jalan, sehingga menyebabkan lalu
lintas menjadi terganggu, alhasil macet pun tak terelakkan. Apalagi di Jakarta,
jika hujan deras turun saat jam pulang kantor di sore hari, kemacetan parah
seringkali akan membuntutinya.
Idealnya, sebagian besar air hujan yang turun meresap ke dalam tanah
dan sebagian lagi dibuang melalui saluran drainase menuju ke laut. Namun,
berhubung sebagian besar lahan telah terbangun, yang terjadi justru sebaliknya,
hanya sedikit air hujan yang terserap ke dalam tanah sementara sebagian besar
lainnya terbuang begitu saja. Masih mending jika kapasitas saluran drainasenya
cukup, kenyataan di lapangan, saluran drainase seringkali tidak mampu menampung
air yang turun dalam jumlah besar, sehingga timbullah genangan air, atau bahkan banjir.
Banjir di Bundaran HI, Jakarta
Sumber: al-khilafah.org
Air hujan yang meresap ke dalam tanah merupakan sumber tersedianya air tanah yang diambil penduduk
melalui sumur. Dalam kondisi dimana jaringan pipa PDAM belum menjangkau seluruh
penduduk seperti sekarang, maka keberadaan air tanah merupakan sesuatu yang
vital. Tanpa itu, maka penduduk akan kesulitan memperoleh air bersih untuk
berbagai keperluan mereka. Akan tetapi, kini air tanah terus menerus dikuras,
sementara air hujan yang menjadi pembaharunya hanya sebagian kecil saja yang
bisa meresap ke dalam tanah. Akibatnya bisa dilihat secara kasat mata, banyak
sumur-sumur penduduk yang mengalami kekeringan pada musim kemarau. Untuk tetap
bisa mendapatkan air bersih, sebagian orang memperdalam sumur yang dimilikinya.
Namun, sampai kapan upaya itu bisa dilakukan?
Tentu saja kita tak boleh menyerah dengan keadaan, banyak cara yang
bisa dilakukan agar air hujan lebih banyak terserap ke dalam tanah. Tak usah
jauh-jauh berpikir cara yang masif dan mahal, itu biarlah jadi domainnya pemerintah
(kalau mereka mau memikirkan), seperti Pemprov DKI Jakarta misalnya, kini sedang
menggiatkan pembangunan sumur resapan dengan anggaran miliaran rupiah. Bagaimana
dengan kita? Apakah hanya berpangku tangan saja ataukah ingin turut serta berperan
dalam upaya pelestarian air tanah? Nah… bagi rakyat biasa seperti kebanyakan dari kita, cukuplah menggunakan
cara yang mudah dan murah saja. Kita bisa
memulainya dari diri kita sendiri, dari lingkungan tempat tinggal kita sendiri,
yang hasilnya bisa kita nikmati bersama orang-orang di sekitar kita. Jika saja
semua orang mau mempraktekkannya, niscaya sebuah perubahan besar akan terjadi,
tinggal masalah mau atau tidaknya saja.
Di antara yang bisa kita lakukan adalah dengan membuat biopori dan
sumur resapan sederhana. Biaya pembuatannya terbilang murah. Apalagi jika
dibuat sendiri atau dengan kerja bakti bersama warga sekampung, tentu bisa
lebih murah lagi. Untuk cara
pembuatannya insya Allah akan saya tuliskan di lain kesempatan. Kebetulan bulan
lalu ada kerja bakti pembuatan biopori di lingkungan tempat tinggal saya, jadi
bahannya sudah ada, tinggal ditulis saja bila ada kesempatan. Akan tetapi, untuk pembuatan sumur resapan
sederhana mungkin masih lain kali lagi, nunggu kerja bakti pembuatan sumur
resapan diadakan lagi, biar bisa saya bikin
reportasenya untuk Anda semua. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)