Pages

Rabu, 19 Februari 2014

Ketika Hunian Vertikal Jadi Solusi, Mau?


Perkembangan sebuah kota tidaklah hanya terbatas pada wilayah administrasinya saja. Dengan semakin berkembangnya sebuah kota, maka semakin bertambah pula penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Lahan kosong lambat laun terus terbangun.  Hingga akhirnya, ketersediaan lahan menjadi isu penting bagi sebuah kota. Semakin sedikitnya lahan tersisa berdampak pada semakin tingginya harga tanah di tempat tersebut, sehingga banyak orang melirik lahan di daerah pinggiran untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, sementara aktivitas bisnis dan pekerjaan tetap dilakukan di pusat kota. Hal ini berdampak pada semakin membengkaknya sebuah kota membentuk urban sprawl yang luas.
Lihat saja di Jakarta, data tahun 2011 wilayah Provinsi DKI Jakarta yang luasnya 664 km2 sudah disesaki oleh 9,8 juta orang. (Kemendagri) Besarnya kota Jakarta tak hanya diukur dari situ saja, karena secara fisik kota ini sudah jauh lebih luas. Jakarta bersama dengan daerah-daerah penyangganya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, merupakan wilayah metropolitan terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta jiwa.   
Wilayah penyangga tersebut ada yang terbentuk menjadi perkotaan secara alami akibat perluasan kota dan adapula yang dari awal memang dirancang sebagai sebuah kota mandiri dengan konsep modern. Kota-kota mandiri tersebut disulap oleh para pengembang dari semula lahan kosong atau lahan pertanian menjadi pusat pemukiman dan perekonomian dengan beragam fasilitas perkotaan yang komplit. Beberapa kota mandiri yang terkenal di pinggiran Jakarta antara lain Bumi Serpong Damai (BSD) City, Bintaro Jaya, Lippo Village Karawaci, Alam Sutera, Sentul City, Kota Jababeka, dan lain-lain.

Gedung-Gedung Pencakar Langit di Jakarta
Sumber: ncon; skyscrapercity.com

Dengan semakin besarnya wilayah urban Jakarta, semakin banyak orang yang tinggal lebih jauh dari pusat kota, dan semakin jauh pula jarak yang harus ditempuh setiap harinya untuk sampai ke pusat kota Jakarta. Ini menyebabkan semakin lama orang harus berada di jalan raya sehingga mengakibatkan semakin parahnya kemacetan lalu lintas. Belum lagi ditambah dengan pola jaringan jalan raya di beberapa tempat yang bertipe radial, ruwet, berputar-putar, dan terbatasnya akses transportasi umum di daerah-daerah penyangga, sehingga memiliki kendaraan pribadi bagaikan sebuah keharusan. Bahkan konsep perumahan modern yang dibangun oleh pengembang pun umumnya masih bergantung pada penggunaan  kendaraan pribadi.  
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah bangunan vertikal. Dengan bangunan vertikal, penggunaan lahan menjadi lebih efisien. Jika dalam sebuah areal seluas katakanlah 400 m2 dibangun rumah tapak seluas masing-masing 100 m2 maka tempat itu hanya bisa dihuni oleh 4 keluarga. Lain halnya bila dibangun apartemen setinggi 25 lantai, dengan asumsi luas bangunan yang dibutuhkan sama, maka lahan itu bisa dihuni oleh 100 keluarga. Bayangkan berapa banyak lahan yang bisa dihemat. Lahan terbuka hijau menjadi lebih luas, tidak perlu terbentuk urban sprawl yang terlalu luas, penduduk tidak perlu menempuh jarak yang terlalu jauh setiap harinya, dan public space juga bisa diperbanyak.
Hunian vertikal berupa apartemen dengan tinggi hingga puluhan lantai sudah banyak menjamur di Jakarta. Jarak dan waktu bisa jadi merupakan alasan utama orang memilih tinggal di apartemen yang berada di pusat kota. Daripada harus terjebak macet berjam-jam setiap hari, lebih baik memilih tinggal di tempat yang lebih dekat saja. Tak hanya apartemen, hotel dan office tower juga cukup mendominasi pembangunan pencakar langit di Jakarta
Pembangunan gedung tinggi juga cukup banyak dilakukan di kota-kota lain.  Kota-kota metropolitan seperti  Surabaya dan Bandung misalnya, sudah memiliki banyak gedung-gedung tinggi, begitu pula di kota-kota besar lainnya. Bahkan di secondary cities seperti Solo, Batam, dan Balikpapan kini sudah bermunculan gedung-gedung di atas 20 lantai. Namun, kebanyakan gedung tinggi di kota-kota tersebut bukan berupa apartemen, melainkan berupa hotel, condotel, dan sebagian lagi berupa office tower

Perbandingan Jumlah Proyek Highrise di Indonesia 
Sumber: Majalah Citradata Edisi Desember 2013 

Apabila dibandingkan, tampak pembangunan gedung tinggi masih terkonsentrasi di Jakarta. Surabaya sebagai kota terbesar kedua pun masih jauh tertinggal. Barangkali memang karena kebutuhan di Jakarta yang mendesak, terkait kemacetan parah dan harga tanah yang sudah begitu tinggi.
Kembali ke soal hunian vertikal, untuk saat ini mungkin apartemen memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Adapun untuk kalangan menengah ke bawah, bisa memilih untuk tinggal di rumah susun (rusun). Sebenarnya apartemen dan rusun itu sama saja, sama-sama bangunan vertikal, hanya saja apartemen dan juga kondominium umumnya digunakan untuk menyebut hunian vertikal bagi kalangan menengah ke atas. Karena tentu saja tampilan fisik dan fasilitas yang ditawarkan juga berbeda dari rusun. Begitu pula soal harganya, apartemen jauh lebih mahal daripada rusun, baik untuk beli maupun sewa saja. Selain itu umumnya rusun dibuat low rise berlantai 5 atau 6 sehingga belum memerlukan penggunaan lift.
Saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menggiatkan pembangunan rusun di beberapa titik di ibu kota. Rusun-rusun itu terutama ditujukan untuk menampung orang-orang yang tinggal di lahan milik negara atau tempat-tempat terlarang seperti bantaran kali dan tepian waduk yang umumnya cenderung kumuh. Dengan demikian lahan-lahan tersebut bisa kembali berfungsi sebagaimana mestinya dan jumlah pemukiman kumuh di ibu kota juga bisa berkurang.

Rumah Susun
Sumber: desainrumahidamanku.com

Melihat fakta-fakta tersebut, mungkin semua orang akan setuju bahwa hunian vertikal memang solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan di perkotaan. Namun, bagi diri kita secara pribadi, sudah siapkah tinggal di tempat seperti itu? Sudah siapkah kita merubah budaya rumah tapak yang sudah turun-temurun dari nenek moyang kita? Mungkin poin-poin yang saya kutip dari detik.com berikut ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk memilih tinggal di apartemen atau di rumah tapak. Tentunya ini hanya berlaku bagi Anda yang tinggal di kota-kota yang sudah tersedia kedua jenis tempat tinggal itu.
Rumah
·       Rumah tapak lebih nyaman dibanding Apartemen karena Anda bisa memiliki teras dan sirkulasi udara yang lebih dibandingkan dengan apartemen.
·       Dari segi bangunan, rumah tapak lebih aman, karena tidak bertingkat-tingkat seperti apartemen.
·       Jika ada dana lebih Anda bisa memperluas bangunan ke depan atau ke belakang
·       Anda juga bebas merenovasi rumah kapanpun.
·       Lebih mudah untuk dijadikan jaminan utang di Bank
·       Tingkat sosialisasi lebih tinggi ketimbang apartemen.
Apartemen
·       Jika membeli apartemen, nilai investasi jangka panjang lebih rendah dibanding jika membeli rumah.
·       Mahalnya biaya perawatan, biaya listrik dan air.
·       Jika punya mobil, harus bayar parkir berlangganan.
·       Jika dijadikan jaminan di Bank, nilai taksasi di bawah rumah
·       Jika Anda menginginkan privasi, apartemen adalah hunian yang tepat karena tingkat privasi nyaman dan sangat terjaga.
·       Anda bisa mencicil apartemen yang memiliki lokasi yang strategis.
·       Fasilitas yang lebih ketimbang rumah.
·       Risiko gempa dan kebakaran. Ini kekhawatiran yang paling besar jika tinggal di apartemen.
Satu hal yang wajib menjadi pertimbangan sebelum membeli adalah soal status kepemilikan. Untuk masalah status kepemilikan rumah sudah banyak dimengerti orang, tetapi soal status kepemilikan apartemen mungkin masih banyak yang belum tahu. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di sini. Selain itu tentu saja kondisi kota dimana Anda tinggal juga perlu dipertimbangkan. Sekarang tinggal Anda yang memutuskan untuk memilih yang mana.