Perkembangan
sebuah kota tidaklah hanya terbatas pada wilayah administrasinya saja. Dengan
semakin berkembangnya sebuah kota, maka semakin bertambah pula penduduk yang
mendiami wilayah tersebut. Lahan kosong lambat laun terus terbangun. Hingga akhirnya, ketersediaan lahan menjadi
isu penting bagi sebuah kota. Semakin sedikitnya lahan tersisa berdampak pada
semakin tingginya harga tanah di tempat tersebut, sehingga banyak orang melirik
lahan di daerah pinggiran untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, sementara
aktivitas bisnis dan pekerjaan tetap dilakukan di pusat kota. Hal ini berdampak
pada semakin membengkaknya sebuah kota membentuk urban sprawl yang luas.
Lihat
saja di Jakarta, data tahun 2011 wilayah Provinsi DKI Jakarta yang luasnya 664
km2 sudah disesaki oleh 9,8 juta orang. (Kemendagri) Besarnya kota Jakarta tak
hanya diukur dari situ saja, karena secara fisik kota ini sudah jauh lebih
luas. Jakarta bersama dengan daerah-daerah penyangganya, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi, merupakan wilayah metropolitan terbesar di Asia Tenggara
dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta jiwa.
Wilayah
penyangga tersebut ada yang terbentuk menjadi perkotaan secara alami akibat
perluasan kota dan adapula yang dari awal memang dirancang sebagai sebuah kota
mandiri dengan konsep modern. Kota-kota mandiri tersebut disulap oleh para
pengembang dari semula lahan kosong atau lahan pertanian menjadi pusat
pemukiman dan perekonomian dengan beragam fasilitas perkotaan yang komplit. Beberapa
kota mandiri yang terkenal di pinggiran Jakarta antara lain Bumi Serpong Damai
(BSD) City, Bintaro Jaya, Lippo Village Karawaci, Alam Sutera, Sentul City, Kota
Jababeka, dan lain-lain.
Gedung-Gedung Pencakar Langit di Jakarta
Sumber: ncon; skyscrapercity.com
Dengan
semakin besarnya wilayah urban Jakarta, semakin banyak orang yang tinggal lebih
jauh dari pusat kota, dan semakin jauh pula jarak yang harus ditempuh setiap
harinya untuk sampai ke pusat kota Jakarta. Ini menyebabkan semakin lama orang
harus berada di jalan raya sehingga mengakibatkan semakin parahnya kemacetan
lalu lintas. Belum lagi ditambah dengan pola jaringan jalan raya di beberapa
tempat yang bertipe radial, ruwet, berputar-putar, dan terbatasnya akses
transportasi umum di daerah-daerah penyangga, sehingga memiliki kendaraan
pribadi bagaikan sebuah keharusan. Bahkan konsep perumahan modern yang dibangun
oleh pengembang pun umumnya masih bergantung pada penggunaan kendaraan pribadi.
Salah
satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah bangunan vertikal. Dengan
bangunan vertikal, penggunaan lahan menjadi lebih efisien. Jika dalam sebuah
areal seluas katakanlah 400 m2 dibangun rumah tapak seluas masing-masing 100 m2
maka tempat itu hanya bisa dihuni oleh 4 keluarga. Lain halnya bila dibangun
apartemen setinggi 25 lantai, dengan asumsi luas bangunan yang dibutuhkan sama,
maka lahan itu bisa dihuni oleh 100 keluarga. Bayangkan berapa banyak lahan
yang bisa dihemat. Lahan terbuka hijau menjadi lebih luas, tidak perlu
terbentuk urban sprawl yang terlalu
luas, penduduk tidak perlu menempuh jarak yang terlalu jauh setiap harinya, dan
public space juga bisa diperbanyak.
Hunian
vertikal berupa apartemen dengan tinggi hingga puluhan lantai sudah banyak
menjamur di Jakarta. Jarak dan waktu bisa jadi merupakan alasan utama orang
memilih tinggal di apartemen yang berada di pusat kota. Daripada harus terjebak
macet berjam-jam setiap hari, lebih baik memilih tinggal di tempat yang lebih
dekat saja. Tak hanya apartemen, hotel dan office tower juga cukup mendominasi
pembangunan pencakar langit di Jakarta
Pembangunan
gedung tinggi juga cukup banyak dilakukan di kota-kota lain. Kota-kota metropolitan seperti Surabaya dan Bandung misalnya, sudah memiliki banyak gedung-gedung tinggi, begitu pula di kota-kota besar
lainnya. Bahkan di secondary cities
seperti Solo, Batam, dan Balikpapan kini sudah bermunculan gedung-gedung di
atas 20 lantai. Namun, kebanyakan gedung tinggi di kota-kota tersebut bukan
berupa apartemen, melainkan berupa hotel, condotel, dan sebagian lagi berupa office tower.
Perbandingan Jumlah Proyek Highrise di Indonesia
Sumber: Majalah Citradata Edisi Desember 2013
Apabila
dibandingkan, tampak pembangunan gedung tinggi masih terkonsentrasi di Jakarta.
Surabaya sebagai kota terbesar kedua pun masih jauh tertinggal. Barangkali
memang karena kebutuhan di Jakarta yang mendesak, terkait kemacetan parah dan
harga tanah yang sudah begitu tinggi.
Kembali
ke soal hunian vertikal, untuk saat ini mungkin apartemen memang hanya bisa
dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Adapun untuk kalangan menengah ke
bawah, bisa memilih untuk tinggal di rumah susun (rusun). Sebenarnya apartemen
dan rusun itu sama saja, sama-sama bangunan vertikal, hanya saja apartemen dan
juga kondominium umumnya digunakan untuk menyebut hunian vertikal bagi kalangan
menengah ke atas. Karena tentu saja tampilan fisik dan fasilitas yang
ditawarkan juga berbeda dari rusun. Begitu pula soal harganya, apartemen jauh lebih
mahal daripada rusun, baik untuk beli maupun sewa saja. Selain itu umumnya
rusun dibuat low rise berlantai 5
atau 6 sehingga belum memerlukan penggunaan lift.
Saat
ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menggiatkan pembangunan rusun di
beberapa titik di ibu kota. Rusun-rusun itu terutama ditujukan untuk menampung
orang-orang yang tinggal di lahan milik negara atau tempat-tempat terlarang
seperti bantaran kali dan tepian waduk yang umumnya cenderung kumuh. Dengan
demikian lahan-lahan tersebut bisa kembali berfungsi sebagaimana mestinya dan jumlah
pemukiman kumuh di ibu kota juga bisa berkurang.
Rumah Susun
Sumber: desainrumahidamanku.com
Melihat
fakta-fakta tersebut, mungkin semua orang akan setuju bahwa hunian vertikal
memang solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan di perkotaan. Namun, bagi diri
kita secara pribadi, sudah siapkah tinggal di tempat seperti itu? Sudah siapkah
kita merubah budaya rumah tapak yang sudah turun-temurun dari nenek moyang kita?
Mungkin poin-poin yang saya kutip dari detik.com berikut ini juga bisa menjadi
bahan pertimbangan untuk memilih tinggal di apartemen atau di rumah tapak.
Tentunya ini hanya berlaku bagi Anda yang tinggal di kota-kota yang sudah
tersedia kedua jenis tempat tinggal itu.
Rumah
·
Rumah tapak lebih nyaman dibanding
Apartemen karena Anda bisa memiliki teras dan sirkulasi udara yang lebih
dibandingkan dengan apartemen.
·
Dari segi bangunan, rumah tapak
lebih aman, karena tidak bertingkat-tingkat seperti apartemen.
·
Jika ada dana lebih Anda bisa
memperluas bangunan ke depan atau ke belakang
·
Anda juga bebas merenovasi rumah
kapanpun.
·
Lebih mudah untuk dijadikan jaminan
utang di Bank
·
Tingkat sosialisasi lebih tinggi
ketimbang apartemen.
Apartemen
·
Jika membeli apartemen, nilai
investasi jangka panjang lebih rendah dibanding jika membeli rumah.
·
Mahalnya biaya perawatan, biaya
listrik dan air.
·
Jika punya mobil, harus bayar parkir
berlangganan.
·
Jika dijadikan jaminan di Bank,
nilai taksasi di bawah rumah
·
Jika Anda menginginkan privasi,
apartemen adalah hunian yang tepat karena tingkat privasi nyaman dan sangat terjaga.
·
Anda bisa mencicil apartemen yang
memiliki lokasi yang strategis.
·
Fasilitas yang lebih ketimbang
rumah.
·
Risiko gempa dan kebakaran. Ini
kekhawatiran yang paling besar jika tinggal di apartemen.
Satu
hal yang wajib menjadi pertimbangan sebelum membeli adalah soal status
kepemilikan. Untuk masalah status kepemilikan rumah sudah banyak dimengerti
orang, tetapi soal status kepemilikan apartemen mungkin masih banyak yang belum
tahu. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di sini. Selain itu tentu saja kondisi
kota dimana Anda tinggal juga perlu dipertimbangkan. Sekarang tinggal Anda yang
memutuskan untuk memilih yang mana.