Stasiun Solokota dengan kode
STA terletak di Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Oleh karena letaknya
di Kelurahan Sangkrah, warga Solo biasa menyebutnya sebagai Stasiun Sangkrah.
Stasiun Solokota merupakan stasiun termuda di antara 4 stasiun yang ada di kota Solo. Ketiga stasiun lain, yakni Stasiun Solobalapan, Purwosari, dan Solojebres
semuanya dibangun pada abad ke-19, sementara Stasiun Solokota baru dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg-Mattschapij
(NISM), sebuah perusahaan kereta api swasta, pada abad ke-20, ada yang menyebut pada tahun 1912, tetapi ada pula yang
menyebut tahun 1922.
Selain itu, tidak seperti ketiga stasiun lainnya yang berada di
jalur utama lintas selatan Pulau Jawa, Stasiun Solokota berada di jalur lokal
Purwosari-Wonogiri. Pembangunan rel ke Wonogiri sendiri baru dilakukan pada
tahun 1922. Dulunya jalur ini sampai ke kecamatan Baturetno di Kabupaten
Wonogiri. Namun, kini jalurnya telah tertutup oleh pembangunan Waduk Gajah Mungkur,
sehingga kereta hanya bisa berjalan sampai ke Kecamatan Wonogiri.
Sumber gambar: pangesti_solo, skyscrapercity.com
Jalur rel antara Stasiun Purwosari hingga Solokota hampir
seluruhnya berada tepat di tepi jalan raya, yakni Jalan Brigjen Slamet Riyadi
(jalan protokol Kota Solo) dan Jalan Mayor Sunaryo. Dahulu, jalur ini merupakan
jalur trem dalam kota Solo. Menurut Babad Sala yang ditulis oleh RM. Sajid, jalur
trem dimulai dari depan Benteng Vastenburg hingga ke Stasiun Purwosari. Dari
Stasiun Purwosari terdapat pula jalur trem ke arah barat hingga ke daerah
Gembongan, Kartasura. Dari Gembongan terdapat jalur rel ke utara hingga Pabrik
Gula Colomadu dan jalur rel ke barat hingga sampai ke Boyolali. Namun, jalur rel
dari Purwosari ke arah barat itu kini sudah tertutup oleh perumahan dan
pelebaran jalan. Jalur trem lain juga pernah ada mulai dari Gladak (depan
Benteng Vastenburg) hingga Stasiun Solojebres. Pada saat jitu, kota Solo
memiliki jalur rel melingkar di dalam kota seperti yang ada di Jakarta. Namun,
jalur tersebut kini juga telah hilang tertutup jalan, sehingga saat ini tinggal
jalur Purwosari-Solokota saja yang masih tersisa.
Bulan lalu, saat pulang ke Solo, saya menyempatkan diri untuk blusukan
ke Stasiun Solokota. Saya melihat-lihat kondisi sekitar stasiun hingga ke dalam
peron stasiun. Secara umum kondisi stasiun kecil yang hanya memiliki 2 jalur ini
terlihat cukup bersih dan rapi, tetapi warnanya terlihat kusam. Tidak seperti stasiun-stasiun kecil lain yang
saya lewati dalam perjalanan Jakarta-Solo, stasiun-stasiun tersebut umumnya
terlihat terawat dengan warna cat yang khas. Mungkin karena memang stasiunnya
yang sepi tanpa jadwal kereta reguler, sehingga masih dibiarkan dalam kondisi
seperti itu. Kondisi ini berbeda dengan beberapa tahun lalu. Berikut ini adalah
foto Stasiun Solokota beberapa tahun silam.
Sumber gambar: shaggy_solo
Sumber gambar: harianjogja
Bandingkan dengan kondisinya saat
ini.
Bagian depan Stasiun Solokota
Stasiun Solokota dari dalam peron
Alat pelayan sinyal
Ruang PPKA dan Kepala Stasiun
Bangunan Stasiun Solokota dari dalam peron
Ada satu kejanggalan yang saya temui di sana, papan nama stasiun
menunjukkan ketinggian yang berbeda. Papan nama di tengah yang menghadap ke
peron tertulis SOLOKOTA +97, sementara papan nama di samping kanan dan kiri
stasiun tertulis SOLO-KOTA +89, sedangkan di Wikipedia disebutkan +85. Entah
mana yang paling benar, saya belum menemukan referensi yang paling bisa
dipercaya.
Papan nama di dalam peron
Dulunya jalur Purwosari-Wonogiri dilewati oleh kereta Feeder
Bengawan. Penumpang kereta Bengawan dari Jakarta yang tiba pada pagi hari turun
di Purwosari lalu melanjutkan perjalanan ke Sukoharjo dan Wonogiri dengan
kereta Feeder. Kereta Feeder ini hanya terdiri dari 1 lokomotif dan 2 gerbong.
Selanjutnya pada siang hari kereta Feeder ini membawa penumpang dari Wonogiri
dan Sukoharjo ke Purwosari untuk selanjutnya berangkat ke Jakarta pada sore
hari. Namun, kereta Feeder Bengawan ini sudah lama tak lagi berjalan.
Pada masa kepemimpinan Jokowi sebagai Walikota Solo, beliau
memunculkan beberapa ide untuk mengembalikan suasana masa lalu kota Solo. Salah
satunya, Jokowi berhasil memboyong lokomotif kereta uap dari Museum Kereta Api
di Ambarawa agar dapat berjalan melintasi bekas jalur trem di jantung kota Solo
antara Purwosari hingga Solokota. Akan tetapi, kereta uap yang diberi nama
Sepur Kluthuk “Jaladara” ini bukan ditujukan sebagai alat transportasi
masyarakat, tetapi lebih sebagai salah satu atraksi pariwisata mengingat kereta
ini memiliki nilai keunikan tersendiri
dan tentunya juga karena tiket untuk menaikinya yang mahal, yakni Rp 100 ribu
per orang. Bisa juga dipesan secara paket untuk sekali jalan sebesar Rp 3 juta.
Biaya operasional kereta ini memang cukup besar, sebab bahan bakar yang
digunakan adalah kayu jati.
Sepur kluthuk Jaladara melintas di Jalan Brigjen Slamet Riyadi
Sumber gambar: wikipedia
Kehadiran sepur kluthuk ini cukup menarik perhatian masyarakat saat
melintas. Bentuk kereta dan lokomotifnya yang jadul beserta suara khas yang
dikeluarkannya membawa suasana tersendiri yang tidak ditemukan di tempat lain
selain di kota Solo dan Padangpanjang, Sumatera Barat. Kereta ini seakan
membangkitkan kembali kenangan masa lalu saat trem berjalan menyusuri jalan utama kota.
Pada masa kepemimpinan Jokowi pula Kementerian Perhubungan
memberikan hibah berupa railbus yang rencananya akan digunakan untuk melayani
rute Purwosari-Wonogiri ini. Bahkan rel kereta sepanjang jalur itu telah
diganti dengan yang baru. Namun, ternyata rencana tersebut kurang terencana dan
terkoordinir dengan baik. Sebab, harga tiket yang diajukan PT KAI sebagai
pengelola, yakni sebesar Rp 10 ribu dianggap terlalu mahal untuk jarak tempuh
yang hanya sekitar 30-40 km ini. Sementara pemerintah kota tidak dapat memberikan
subsidi untuk membantu membiayai operasional railbus. Sampai sekarang railbus
yang diberi nama “Batara Kresna” ini belum juga berjalan melayani rute
tersebut. Dengan demikian, praktis Stasiun Solokota hanya digunakan untuk pemberhentian
sepur kluthuk saja, itupun tidak setiap hari.
Railbus melintas di Jalan Brigjen Slamet Riyadi
Sumber gambar: kompasiana.com
Yah… mungkin karena memang tidak ada kereta yang lewat, sehingga siapapun
bebas masuk ke dalam peron Stasiun Solokota. Bahkan stasiun ini biasa digunakan
lalu lalang oleh penduduk sekitar untuk menuju ke pasar tradisional yang berada
tepat di sebelah barat stasiun. Halaman depan stasiunpun digunakan untuk parkir
kendaraan pedagang maupun pengunjung pasar tersebut. Jika saja tak ada sepur
kluthuk, mungkin stasiun ini sudah sama sekali tak berfungsi.
Beberapa waktu lalu sempat ada kabar tentang rencana pengaktifan
kembali jalur Purwosari-Wonogiri. Entah apakah railbus akan segera dijalankan
atau menggunakan kereta lain, saya pribadi hanya berharap jalur ini bisa
kembali digunakan sebagai alternatif rute perjalanan Solo-Wonogiri. Dengan
demikian, stasiun-stasiun di jalur tersebut, yakni Stasiun Solokota, Stasiun
Sukoharjo, Stasiun Pasar Nguter, dan Stasiun Wonogiri bisa kembali aktif
melayani masyarakat seperti di masa lalu.
Posting Komentar
Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)