Beberapa hari
terakhir ini jagat dunia maya dihebohkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) dalam perkara pengujian undang-undang mengenai Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) atau Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Udang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang. Terdapat dua putusan MK yang krusial dan
mendapat perhatian masyarakat luas, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan
Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan pertama terkait dengan ambang batas
minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon
dalam pemilihan kepala daerah, sementara putusan kedua terkait dengan mekanisme
penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah.
Pada putusan
pertama, ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik
untuk mengajukan calon kepala daerah, yakni 20% dari kursi di DPRD atau 25%
dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu dianggap terlalu berat jika
dibandingkan dengan syarat minimal dukungan KTP bagi calon yang mendaftar lewat
jalur perseorangan (independen). Menurut MK, hal ini sama artinya dengan
memberlakukan ketidakadilan. Oleh karena itu MK mengubah ketentuan ambang batas
minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik diselaraskan dengan
syarat persentase dukungan calon perseorangan. Putusan ini tentu berdampak
besar pada peta persaingan partai politik dalam pilkada yang akan
diselenggarakan bulan November nanti. Partai-partai yang sebelumnya harus
berkoalisi untuk mencapai batas minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam
pemilu, kini dapat secara mandiri mengusung calonnya sendiri-sendiri. Misalnya
untuk Pilkada Jakarta, dengan DPT antara 6 hingga 12 juta orang, maka partai
politik atau gabungan partai politik dengan suara sah lebih dari 7,5 % dapat
mengajukan calon untuk bertarung dalam Pilkada Jakarta.
Seperti telah diketahui bersama, sebelum putusan ini terbit, 12 partai politik telah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Ridwan Kamil-Suswono sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Kedua belas partai politik yang didominasi koalisi pengusung Prabowo-Gibran dalam Pilpres lalu seakan menutup kemungkinan munculnya calon lain yang diusung partai politik. Meski demikian, sudah ada satu calon penantangnya dari jalur independen, yakni pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana yang telah lolos verifikasi KPU meski diwarnai kasus pencatutan NIK dalam pengumpulan KTP dukungan. Namun, putusan MK pada 20 Agustus lalu telah membuat semua orang terhenyak, karena kini partai besar yang tersisa yakni PDI Perjuangan yang memperoleh 14% suara dapat mengusung calonnya sendiri. Sejumlah tokoh dengan elektabilitas besar digadang-gadang akan mampu mengalahkan Ridwan Kamil bila diusung oleh PDIP, seperti Anies Baswedan atau Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).
Putusan MK ini
mengobarkan kembali harapan para pendukung Anies Baswedan agar Anies dapat
kembali berlaga di Pilkada Jakarta. Terlebih sejak pilpres lalu, masyarakat
masih terbelah berdasarkan capres yang didukungnya. Sosok Anies Baswedan yang
digambarkan sebagai simbol perubahan diharapkan dapat menang menghadapi Ridwan
Kamil yang didukung koalisi besar partai-partai penguasa.
Sementara itu,
putusan MK yang kedua berkaitan dengan penafsiran kapan batas waktu usia calon
Kepala Daerah dihitung. Menurut MK, batas usia tersebut adalah pada saat
pentapan pasangan calon oleh KPU. Hal ini berbeda dengan penafsiran Mahkamah
Agung (MA) terhadap Peraturan KPU yang menafsirkan batas waktu tersebut adalah
pada saat pelantikan.
Sehari setelah
putusan MK tersebut, Badan Legislatif (Baleg) DPR megadakan rapat pembahasan
revisi UU Pilkada untuk menyikapi hasil putusan MK. Hasil rapat yang
menunjukkan Baleg DPR membuat penafsiran baru atas putusan MK mengenai ambang
batas minimal suara partai politik, Baleg DPR memutuskan untuk tetap
menggunakan ketentuan lama bagi partai politik yang memiliki kursi di DPR dan
putusan MK untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Ambang batas
ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi melihat kenyataan dimana
partai-partai koalisi pemerintah bersatu membentuk koalisi besar untuk mengusung
satu pasangan calon kepala daerah menyebabkan peluang munculnya calon lawan
dari partai politik semakin kecil. Seperti di Pilkada Jakarta dimana ketentuan
tersebut menyebabkan hanya ada 1 calon dari partai politik dan calon dari
perseorangan yang dapat bertarung dalam pilkada. Pasangan independen diyakini
tidak akan memiliki logistik yang mumpuni untuk bersaing dengan calon dari
koalisi besar partai politik. Hal ini dapat mengarah pada demokrasi yang tidak
sehat. Akhirnya demokrasi hanyalah sebatas formalitas, secara substansi semua
sudah dikendalikan oleh koalisi partai politik yang membentuk oligarki. Sementara masyarakat tidak memiliki pilihan
lain selain memilih calon yang sudah dikondisikan tersebut. Selain masalah ini,
Baleg DPR juga sepakat untuk menggunakan penafsiran MA terkait batas waktu
penghitungan usia calon kepala daerah.
Baleg DPR bersama
perwakilan Pemerintah secara aklamasi sepakat untuk membawa rancangan revisi
Undang-Undang Pilkada tersebut ke rapat paripurna pada keesokan harinya untuk
disahkan. Sejumlah pihak meyakini adanya andil “istana” untuk memuluskan
langkah anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, agar dapat maju dalam
Pilkada. Kaesang yang lahir pada 25 Desember 1994 tidak dapat maju dalam
Pilkada tingkat provinsi bila ketentuan Undang-Undang Pilkada menggunakan
putusan MK, tetapi dapat maju bila menggunakan putusan MA. Kaesang sendiri
santer dikabarkan akan maju sebagai Calon Wakil Gubernur Jawa Tengah. Meski
demikian, keyakinan adanya andil istana tidak bisa dengan mudah dibuktikan.
Selain itu, baliho bergambar Kaesang tidak nampak di wilayah Jawa Tengah
seperti baliho calon-calon lainnya yang telah bertebaran di berbagai sudut
provinsi itu. Selain itu, partai-partai koalisi pemerintah ditengarai berusaha
agar dapat menang mudah dalam pilkada di berbagai daerah dengan bersatu dan
mencegah munculnya calon alternatif dari partai lain.
Kedua poin kontroversial
itu sontak membuat DPR menuai kecaman dari masyarakat luas. Aksi protes pun tak
hanya berhenti di dunia maya. Ribuan orang termasuk para mahasiswa dan buruh di
berbagai kota turun ke jalan untuk menolak pengesahan revisi Undang-Undang
Pilkada tersebut. Hingga akhirnya rapat paripurna tidak memenuhi kuorum dan
agenda pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada pun dibatalkan. DPR dan KPU kemudian
menyepakati ketentuan pendaftaran calon kepala daerah mengikuti ketentuan yang
telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dari kasus ini,
masyarakat secara umum akan menilai bahwa DPR telah mempertontonkan syahwat
kekuasaan secara vulgar. Alih-alih menghormati putusan MK yang berlaku secara
final dan mengikat, DPR tampak memaksakan kepentingannya dengan memilih membuat
penafsiran hukum sendiri. Selain itu, beberapa pihak menuding Presiden Jokowi
berada di balik layar untuk memuluskan langkah Kaesang maju ke Pilkada. Besarnya
gelombang protes akhirnya sukses mencegah revisi undang-undang pilkada
disahkan.
Tentunya apa
yang terjadi sebenarnya tidak sesimpel undang-undang batal direvisi karena
gagal kuorum. Kita sebagai rakyat biasa tidak tahu dan mungkin tidak akan
pernah tahu secara pasti apa yang terjadi di balik layar. Siapa sebenarnya
dalang di balik keributan ini? Apakah ada deal-deal
tertentu di antara para elit politik? Kita semua hanya bisa menduga-duga tanpa
memiliki bukti yang valid. Mungkin juga hanya kabar-kabar burung yang akan kita
dengar. Sebab sejumlah undang-undang kontroversial lain pun nyatanya tetap
dapat disahkan meski sama-sama menuai protes dari publik.
Terlepas dari
baik atau buruknya putusan MK, norma baru terkait ambang batas partai politik
mengusung calon kepala daerah menimbulkan kontroversi baru. Sebab, MK seperti
mengambil peran DPR sebagai penyusun undang-undang dengan memasukkan beberapa
poin ke dalam undang-undang Pilkada yang bahkan tidak dimuat dalam petitum
pemohon. Meski demikian kontroversi ini tidak begitu meluas karena publik lebih
berfokus pada isi putusan dan bagaimana reaksi DPR yang mengabaikan putusan MK.
Dalam tulisan berikutnya, insya Allah saya akan membahas lebih lanjut terkait
masalah ini.
Akhir kata, sebagai
rakyat biasa, kita tidak perlu terlalu fanatik pada tokoh atau partai tertentu.
Toh politik itu cair, hari ini jadi kawan, besok bisa jadi lawan. Semua tergantung
kepentingan. Kalau kepentingannya sama, terjadi apa yang kita saksikan bersama.
Sebagai rakyat biasa, kita hanya dapat melakukan hal kecil yang bisa kita
suarakan untuk kebaikan bangsa ini. Apapun yang terjadi, jangan lelah untuk
mencintai Indonesia.
Posting Komentar
Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)