Pages

Senin, 26 Agustus 2024

Ulasan Singkat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Pilkada

Beberapa hari terakhir ini jagat dunia maya dihebohkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian undang-undang mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Udang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Terdapat dua putusan MK yang krusial dan mendapat perhatian masyarakat luas, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan pertama terkait dengan ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon dalam pemilihan kepala daerah, sementara putusan kedua terkait dengan mekanisme penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah.

Pada putusan pertama, ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah, yakni 20% dari kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu dianggap terlalu berat jika dibandingkan dengan syarat minimal dukungan KTP bagi calon yang mendaftar lewat jalur perseorangan (independen). Menurut MK, hal ini sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan. Oleh karena itu MK mengubah ketentuan ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Putusan ini tentu berdampak besar pada peta persaingan partai politik dalam pilkada yang akan diselenggarakan bulan November nanti. Partai-partai yang sebelumnya harus berkoalisi untuk mencapai batas minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam pemilu, kini dapat secara mandiri mengusung calonnya sendiri-sendiri. Misalnya untuk Pilkada Jakarta, dengan DPT antara 6 hingga 12 juta orang, maka partai politik atau gabungan partai politik dengan suara sah lebih dari 7,5 % dapat mengajukan calon untuk bertarung dalam Pilkada Jakarta.

Seperti telah diketahui bersama, sebelum putusan ini terbit, 12 partai politik telah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Ridwan Kamil-Suswono sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Kedua belas partai politik yang didominasi koalisi pengusung Prabowo-Gibran dalam Pilpres lalu seakan menutup kemungkinan munculnya calon lain yang diusung partai politik.  Meski demikian, sudah ada satu calon penantangnya dari jalur independen, yakni pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana yang telah lolos verifikasi KPU meski diwarnai kasus pencatutan NIK dalam pengumpulan KTP dukungan. Namun, putusan MK pada 20 Agustus lalu telah membuat semua orang terhenyak, karena kini partai besar yang tersisa yakni PDI Perjuangan yang memperoleh 14% suara dapat mengusung calonnya sendiri. Sejumlah tokoh dengan elektabilitas besar digadang-gadang akan mampu mengalahkan Ridwan Kamil bila diusung oleh PDIP, seperti Anies Baswedan atau Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Putusan MK ini mengobarkan kembali harapan para pendukung Anies Baswedan agar Anies dapat kembali berlaga di Pilkada Jakarta. Terlebih sejak pilpres lalu, masyarakat masih terbelah berdasarkan capres yang didukungnya. Sosok Anies Baswedan yang digambarkan sebagai simbol perubahan diharapkan dapat menang menghadapi Ridwan Kamil yang didukung koalisi besar partai-partai penguasa.

Sementara itu, putusan MK yang kedua berkaitan dengan penafsiran kapan batas waktu usia calon Kepala Daerah dihitung. Menurut MK, batas usia tersebut adalah pada saat pentapan pasangan calon oleh KPU. Hal ini berbeda dengan penafsiran Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan KPU yang menafsirkan batas waktu tersebut adalah pada saat pelantikan.

Sehari setelah putusan MK tersebut, Badan Legislatif (Baleg) DPR megadakan rapat pembahasan revisi UU Pilkada untuk menyikapi hasil putusan MK. Hasil rapat yang menunjukkan Baleg DPR membuat penafsiran baru atas putusan MK mengenai ambang batas minimal suara partai politik, Baleg DPR memutuskan untuk tetap menggunakan ketentuan lama bagi partai politik yang memiliki kursi di DPR dan putusan MK untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Ambang batas ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi melihat kenyataan dimana partai-partai koalisi pemerintah bersatu membentuk koalisi besar untuk mengusung satu pasangan calon kepala daerah menyebabkan peluang munculnya calon lawan dari partai politik semakin kecil. Seperti di Pilkada Jakarta dimana ketentuan tersebut menyebabkan hanya ada 1 calon dari partai politik dan calon dari perseorangan yang dapat bertarung dalam pilkada. Pasangan independen diyakini tidak akan memiliki logistik yang mumpuni untuk bersaing dengan calon dari koalisi besar partai politik. Hal ini dapat mengarah pada demokrasi yang tidak sehat. Akhirnya demokrasi hanyalah sebatas formalitas, secara substansi semua sudah dikendalikan oleh koalisi partai politik yang membentuk oligarki.  Sementara masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain memilih calon yang sudah dikondisikan tersebut. Selain masalah ini, Baleg DPR juga sepakat untuk menggunakan penafsiran MA terkait batas waktu penghitungan usia calon kepala daerah.

Baleg DPR bersama perwakilan Pemerintah secara aklamasi sepakat untuk membawa rancangan revisi Undang-Undang Pilkada tersebut ke rapat paripurna pada keesokan harinya untuk disahkan. Sejumlah pihak meyakini adanya andil “istana” untuk memuluskan langkah anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, agar dapat maju dalam Pilkada. Kaesang yang lahir pada 25 Desember 1994 tidak dapat maju dalam Pilkada tingkat provinsi bila ketentuan Undang-Undang Pilkada menggunakan putusan MK, tetapi dapat maju bila menggunakan putusan MA. Kaesang sendiri santer dikabarkan akan maju sebagai Calon Wakil Gubernur Jawa Tengah. Meski demikian, keyakinan adanya andil istana tidak bisa dengan mudah dibuktikan. Selain itu, baliho bergambar Kaesang tidak nampak di wilayah Jawa Tengah seperti baliho calon-calon lainnya yang telah bertebaran di berbagai sudut provinsi itu. Selain itu, partai-partai koalisi pemerintah ditengarai berusaha agar dapat menang mudah dalam pilkada di berbagai daerah dengan bersatu dan mencegah munculnya calon alternatif dari partai lain.

Kedua poin kontroversial itu sontak membuat DPR menuai kecaman dari masyarakat luas. Aksi protes pun tak hanya berhenti di dunia maya. Ribuan orang termasuk para mahasiswa dan buruh di berbagai kota turun ke jalan untuk menolak pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada tersebut. Hingga akhirnya rapat paripurna tidak memenuhi kuorum dan agenda pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada pun dibatalkan. DPR dan KPU kemudian menyepakati ketentuan pendaftaran calon kepala daerah mengikuti ketentuan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dari kasus ini, masyarakat secara umum akan menilai bahwa DPR telah mempertontonkan syahwat kekuasaan secara vulgar. Alih-alih menghormati putusan MK yang berlaku secara final dan mengikat, DPR tampak memaksakan kepentingannya dengan memilih membuat penafsiran hukum sendiri. Selain itu, beberapa pihak menuding Presiden Jokowi berada di balik layar untuk memuluskan langkah Kaesang maju ke Pilkada. Besarnya gelombang protes akhirnya sukses mencegah revisi undang-undang pilkada disahkan.

Tentunya apa yang terjadi sebenarnya tidak sesimpel undang-undang batal direvisi karena gagal kuorum. Kita sebagai rakyat biasa tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti apa yang terjadi di balik layar. Siapa sebenarnya dalang di balik keributan ini? Apakah ada deal-deal tertentu di antara para elit politik? Kita semua hanya bisa menduga-duga tanpa memiliki bukti yang valid. Mungkin juga hanya kabar-kabar burung yang akan kita dengar. Sebab sejumlah undang-undang kontroversial lain pun nyatanya tetap dapat disahkan meski sama-sama menuai protes dari publik.

Terlepas dari baik atau buruknya putusan MK, norma baru terkait ambang batas partai politik mengusung calon kepala daerah menimbulkan kontroversi baru. Sebab, MK seperti mengambil peran DPR sebagai penyusun undang-undang dengan memasukkan beberapa poin ke dalam undang-undang Pilkada yang bahkan tidak dimuat dalam petitum pemohon. Meski demikian kontroversi ini tidak begitu meluas karena publik lebih berfokus pada isi putusan dan bagaimana reaksi DPR yang mengabaikan putusan MK. Dalam tulisan berikutnya, insya Allah saya akan membahas lebih lanjut terkait masalah ini.

Akhir kata, sebagai rakyat biasa, kita tidak perlu terlalu fanatik pada tokoh atau partai tertentu. Toh politik itu cair, hari ini jadi kawan, besok bisa jadi lawan. Semua tergantung kepentingan. Kalau kepentingannya sama, terjadi apa yang kita saksikan bersama. Sebagai rakyat biasa, kita hanya dapat melakukan hal kecil yang bisa kita suarakan untuk kebaikan bangsa ini. Apapun yang terjadi, jangan lelah untuk mencintai Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)