Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah memberikan angin segar bagi proses
demokrasi, khususnya dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Putusan ini memungkinkan persaingan yang lebih sehat dan mencegah koalisi
partai-partai besar membentuk oligarki yang mengendalikan hasil pilkada secara
tidak langsung. Namun, sejumlah pihak berpendapat bahwa putusan MK tersebut
terlalu jauh masuk ke ranah legislatif karena memunculkan norma hukum baru yang
bahkan tidak termuat dalam petitum para pemohonnya, yakni Partai Gelora dan
Partai Buruh. MK secara detail menambahkan ketentuan mengenai ambang batas
minimal partai politik mengusulkan calon kepala daerah yang disesuaikan dengan
jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah yang bersangkutan.
Di hari yang
sama, MK juga membacakan putusan 70/PUU-XXII/2024 terkait mekanisme
penghitungan batas usia calon kepala daerah. Mungkin kita semua dapat sepakat,
bahwa dalam kasus ini MK telah memberikan penafsiran konstitusi yang tepat dan
dapat mengakhiri perdebatan mengenai kapan batas penghitungan usia calon kepala
daerah. Putusan yang bagi sebagian pihak dianggap mengandaskan peluang anak
bungsu Presiden Jokowi untuk maju pilkada, telah menunjukkan independensi para
hakim konstitusi.
Menurut salah satu hakim konstitusi di MK yang telah purna tugas, Wahiduddin Adams, dalam sebuah diskusi bertajuk hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan pada saat beliau masih aktif sebagai hakim konstitusi, Keputusan MK dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebenarnya merupakan wujud judicial control atau mekanisme checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang-undang. Kewenangan MK melakukan uji materiil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal terjadi kekosongan norma akibat putusan MK, MK dapat membuat terobosan hukum dengan merumuskan norma baru didasarkan pada keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk dilakukan.
Putusan MK atas judicial review pada Undang-Undang
Pilkada, khususnya putusan nomor 60/PUU-XXII/2024
telah menimbulkan pertanyaan dan perdebatan baru, apakah perlu MK turun tangan
sejauh itu dengan merumuskan norma baru yang bahkan tidak diajukan dalam
petitum para pemohon? Mengapa MK sampai harus mengambil tugas legislatif
sebagai pembuat undang-undang? Apakah terjadi kekosongan norma hukum bila MK
tidak merumuskan norma baru tersebut?
Jika kita mengambil
sudut pandang positif, mungkin kita bisa mengatakan MK sedang menjadi benteng
terakhir bagi tegaknya demokrasi di Indonesia. Dengan power yang dimilikinya, MK berusaha mencegah munculnya oligarki
yang mendikte jalannya proses pemilihan umum. Dalam kondisi seperti sekarang,
kita tidak bisa mengharapkan DPR yang akan melakukannya. Namun, jika kita
mengambil sudut pandang negatif, kita akan mengkritisi untuk apa MK membuat
norma hukum baru ini? Apakah MK memiliki preferensi politik tertentu? Sebab, suka
tidak suka, putusan MK akan memberi keuntungan untuk pihak tertentu. Namun,
kecurigaan seperti ini tentunya sulit dibuktikan. Hal ini berbeda ketika MK
memutuskan perkara batas usia calon presiden dan wakil presiden, dimana Anwar
Usman yang saat itu berkedudukan sebagai Ketua MK jelas memiliki hubungan
kekerabatan dengan Gibran Rakabuming Raka, sebagai pihak yang diuntungkan dari
putusannya. Bahkan ia dijatuhi sanksi oleh Majelis Kehormatan MK karena
terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim
konstitusi.
Tanpa memandang
isi dari putusan MK atas undang-undang pilkada, putusan MK tersebut, baik nomor
60/PUU-XXII/2024 maupun 70/PUU-XXII/2024, seperti telah mengembalikan martabat
dan wibawa MK di mata masyarakat. Setelah sebelumnya disindir sebagai Mahkamah
Keluarga, MK kini telah memulihkan kembali nama baiknya dan mendapatkan kembali
kepercayaan dari masyarakat. Putusan MK atas undang-undang pilkada pun menuai
dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Namun,
kewenangan 9 orang hakim MK untuk membentuk suatu norma hukum baru merupakan
sesuatu yang riskan. Sementara DPR dan Pemerintah dalam menyusun suatu
undang-undang memerlukan tahapan yang panjang, mulai dari kajian, naskah
akademis, rapat dengar pendapat, rapat badan legislatif, hingga pengesahan di
rapat paripurna yang dihadiri ratusan anggota DPR. Jika suatu ketentuan hukum
dibuat dengan kajian yang kurang matang dari berbagai segi, maka efeknya akan
dirasakan ketika ketentuan itu dijalankan.
Sebagai contoh, pemilu
legislatif dan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara serentak didasarkan
pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Saat
itu MK memutuskan bahwa pemilu tidak serentak bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, ketika dilaksanakan pertama kali pada 2019, ada ratusan anggota Panitia
Pemungutan Suara (PPS) yang meninggal dunia karena kelelahan. Putusan mengenai
ambang batas partai politik pengusung calon kepala daerah yang jauh lebih kecil
dibanding aturan sebelumnya, memungkinkan munculnya banyak calon kepala daerah
di masa depan. Jika setiap partai yang memenuhi syarat jumlah suara memilih
mengusung calonnya sendiri-sendiri, maka
jumlah pasangan calon kepala daerah dapat lebih dari 10 orang, belum termasuk
calon perseorangan. Sementara, tidak ada pilkada 2 putaran selain di Jakarta.
Dengan demikian, pasangan calon yang dinyatakan menang adalah pasangan yang
memperoleh suara terbanyak berapapun persentase yang diperolehnya. Hal ini akan
berakibat persentase suara pemenang pilkada kecil tetapi dinyatakan menang,
sehingga legitimasinya kurang kuat di mata rakyat.
Terlepas dari
baik atau buruknya norma hukum baru yang dibuat MK, putusan ini menyimpan
potensi ancaman di masa depan. Siapa yang bisa menjamin bahwa hakim MK akan
selalu dijabat orang baik, orang-orang yang tidak punya kepentingan, dan
orang-orang yang selalu netral? Satu frasa saja yang dibuat MK dapat
mempengaruhi hajat hidup ratusan juta orang Indonesia. Sementara putusan MK
bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh
untuk mencabutnya. Dengan putusan-putusan strategis yang dihasilkan MK, bukan
tidak mungkin akan adanya upaya pemilihan hakim konstitusi “dikondisikan” agar
dapat berada di pihak tertentu.
Sementara itu,
proses seleksi hakim MK masih menjadi PR yang belum terselesaikan. Sejumlah
kontroversi sempat muncul dalam pemilihan ataupun perpanjangan jabatan hakim
konstitusi, seperti pada kasus Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Arief
Hidayat. Sudah banyak tulisan dan penelitian yang mengangkat proses seleksi
hakim MK ini. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh MK sendiri
bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gorontalo pada tahun 2017. Hasil
penelitian tersebut menyebutkan, bahwa seleksi hakim konstitusi menimbulkan
trifurkasi mekanisme seleksi pada 3 lembaga negara yang dapat mengusulkan hakim
konstitusi, yakni DPR, MA, dan Presiden. Hal ini tidak terlepas dari konstruksi
norma dalam undang-undang MK yang mengatur tentang seleksi hakim konstitusi
memiliki tingkat fleksibilitas tinggi sehingga dapat ditafsirkan secara bebas
sesuai selera masing-masing lembaga tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020 mengenai Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan
pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. Untuk
itu perlu adanya revisi kembali atas undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi,
setidaknya untuk
1.
menegaskan marwah MK sebagai lembaga yudikatif yang
menjaga supremasi konstitusi, memastikan peraturan dan tindakan lembaga negara
sesuai konstitusi, dan melindungi hak-hak serta kebebasan konstitusi warga
negara,
2.
mengatur norma tentang rekrutmen dan seleksi hakim
konstitusi menjadi lebih rigid sehingga menghindari penafsiran yang
berbeda-beda,
3.
perlunya ketentuan mengenai proses seleksi hakim
konstitusi melalui panel seleksi di ketiga lembaga yang berwenang mengajukan
calon hakim konstitusi.
Revisi pada
poin-poin ini diharapkan dapat semakin menyempurnakan kelembagaan MK dan
menjamin proses seleksi hakim MK menghasilkan hakim konstitusi yang berkualitas.
Dengan hakim konstitusi yang berkualitas, independen, dan berintegritas maka MK
dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Semenjak
didirikan pada 15 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi terus berproses dan
berbenah. Sejumlah penyempurnaan kelembagaan telah dilakukan dengan beberapa
kali revisi terhadap undang-undang MK. Meskipun demikian, masih ada ruang untuk
penyempurnaan lebih lanjut melalui revisi-revisi berikutnya untuk memantapkan
posisi MK sebagai lembaga kehakiman yang independen untuk menegakkan hukum dan
keadilan.