Euforia di balik “Ancaman Tak Terduga” dari Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Pilkada

Jumat, 20 September 20240 comments

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah memberikan angin segar bagi proses demokrasi, khususnya dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan ini memungkinkan persaingan yang lebih sehat dan mencegah koalisi partai-partai besar membentuk oligarki yang mengendalikan hasil pilkada secara tidak langsung. Namun, sejumlah pihak berpendapat bahwa putusan MK tersebut terlalu jauh masuk ke ranah legislatif karena memunculkan norma hukum baru yang bahkan tidak termuat dalam petitum para pemohonnya, yakni Partai Gelora dan Partai Buruh. MK secara detail menambahkan ketentuan mengenai ambang batas minimal partai politik mengusulkan calon kepala daerah yang disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah yang bersangkutan.

Di hari yang sama, MK juga membacakan putusan 70/PUU-XXII/2024 terkait mekanisme penghitungan batas usia calon kepala daerah. Mungkin kita semua dapat sepakat, bahwa dalam kasus ini MK telah memberikan penafsiran konstitusi yang tepat dan dapat mengakhiri perdebatan mengenai kapan batas penghitungan usia calon kepala daerah. Putusan yang bagi sebagian pihak dianggap mengandaskan peluang anak bungsu Presiden Jokowi untuk maju pilkada, telah menunjukkan independensi para hakim konstitusi.

Menurut salah satu hakim konstitusi di MK yang telah purna tugas, Wahiduddin Adams, dalam sebuah diskusi bertajuk hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan pada saat beliau masih aktif sebagai hakim konstitusi, Keputusan MK dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebenarnya merupakan wujud judicial control atau mekanisme checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang-undang. Kewenangan MK melakukan uji materiil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal terjadi kekosongan norma akibat putusan MK, MK dapat membuat terobosan hukum dengan merumuskan norma baru didasarkan pada keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk dilakukan.

Sumber: mkri.id

Putusan MK atas judicial review pada Undang-Undang Pilkada, khususnya putusan nomor  60/PUU-XXII/2024 telah menimbulkan pertanyaan dan perdebatan baru, apakah perlu MK turun tangan sejauh itu dengan merumuskan norma baru yang bahkan tidak diajukan dalam petitum para pemohon? Mengapa MK sampai harus mengambil tugas legislatif sebagai pembuat undang-undang? Apakah terjadi kekosongan norma hukum bila MK tidak merumuskan norma baru tersebut?

Jika kita mengambil sudut pandang positif, mungkin kita bisa mengatakan MK sedang menjadi benteng terakhir bagi tegaknya demokrasi di Indonesia. Dengan power yang dimilikinya, MK berusaha mencegah munculnya oligarki yang mendikte jalannya proses pemilihan umum. Dalam kondisi seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan DPR yang akan melakukannya. Namun, jika kita mengambil sudut pandang negatif, kita akan mengkritisi untuk apa MK membuat norma hukum baru ini? Apakah MK memiliki preferensi politik tertentu? Sebab, suka tidak suka, putusan MK akan memberi keuntungan untuk pihak tertentu. Namun, kecurigaan seperti ini tentunya sulit dibuktikan. Hal ini berbeda ketika MK memutuskan perkara batas usia calon presiden dan wakil presiden, dimana Anwar Usman yang saat itu berkedudukan sebagai Ketua MK jelas memiliki hubungan kekerabatan dengan Gibran Rakabuming Raka, sebagai pihak yang diuntungkan dari putusannya. Bahkan ia dijatuhi sanksi oleh Majelis Kehormatan MK karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.

Tanpa memandang isi dari putusan MK atas undang-undang pilkada, putusan MK tersebut, baik nomor 60/PUU-XXII/2024 maupun 70/PUU-XXII/2024, seperti telah mengembalikan martabat dan wibawa MK di mata masyarakat. Setelah sebelumnya disindir sebagai Mahkamah Keluarga, MK kini telah memulihkan kembali nama baiknya dan mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat. Putusan MK atas undang-undang pilkada pun menuai dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.

Namun, kewenangan 9 orang hakim MK untuk membentuk suatu norma hukum baru merupakan sesuatu yang riskan. Sementara DPR dan Pemerintah dalam menyusun suatu undang-undang memerlukan tahapan yang panjang, mulai dari kajian, naskah akademis, rapat dengar pendapat, rapat badan legislatif, hingga pengesahan di rapat paripurna yang dihadiri ratusan anggota DPR. Jika suatu ketentuan hukum dibuat dengan kajian yang kurang matang dari berbagai segi, maka efeknya akan dirasakan ketika ketentuan itu dijalankan.

Sebagai contoh, pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara serentak didasarkan pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Saat itu MK memutuskan bahwa pemilu tidak serentak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, ketika dilaksanakan pertama kali pada 2019, ada ratusan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang meninggal dunia karena kelelahan. Putusan mengenai ambang batas partai politik pengusung calon kepala daerah yang jauh lebih kecil dibanding aturan sebelumnya, memungkinkan munculnya banyak calon kepala daerah di masa depan. Jika setiap partai yang memenuhi syarat jumlah suara memilih mengusung calonnya sendiri-sendiri,  maka jumlah pasangan calon kepala daerah dapat lebih dari 10 orang, belum termasuk calon perseorangan. Sementara, tidak ada pilkada 2 putaran selain di Jakarta. Dengan demikian, pasangan calon yang dinyatakan menang adalah pasangan yang memperoleh suara terbanyak berapapun persentase yang diperolehnya. Hal ini akan berakibat persentase suara pemenang pilkada kecil tetapi dinyatakan menang, sehingga legitimasinya kurang kuat di mata rakyat.

Terlepas dari baik atau buruknya norma hukum baru yang dibuat MK, putusan ini menyimpan potensi ancaman di masa depan. Siapa yang bisa menjamin bahwa hakim MK akan selalu dijabat orang baik, orang-orang yang tidak punya kepentingan, dan orang-orang yang selalu netral? Satu frasa saja yang dibuat MK dapat mempengaruhi hajat hidup ratusan juta orang Indonesia. Sementara putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh untuk mencabutnya. Dengan putusan-putusan strategis yang dihasilkan MK, bukan tidak mungkin akan adanya upaya pemilihan hakim konstitusi “dikondisikan” agar dapat berada di pihak tertentu.

Sementara itu, proses seleksi hakim MK masih menjadi PR yang belum terselesaikan. Sejumlah kontroversi sempat muncul dalam pemilihan ataupun perpanjangan jabatan hakim konstitusi, seperti pada kasus Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Arief Hidayat. Sudah banyak tulisan dan penelitian yang mengangkat proses seleksi hakim MK ini. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh MK sendiri bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gorontalo pada tahun 2017. Hasil penelitian tersebut menyebutkan, bahwa seleksi hakim konstitusi menimbulkan trifurkasi mekanisme seleksi pada 3 lembaga negara yang dapat mengusulkan hakim konstitusi, yakni DPR, MA, dan Presiden. Hal ini tidak terlepas dari konstruksi norma dalam undang-undang MK yang mengatur tentang seleksi hakim konstitusi memiliki tingkat fleksibilitas tinggi sehingga dapat ditafsirkan secara bebas sesuai selera masing-masing lembaga tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 mengenai Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. Untuk itu perlu adanya revisi kembali atas undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi, setidaknya untuk 

1.    menegaskan marwah MK sebagai lembaga yudikatif yang menjaga supremasi konstitusi, memastikan peraturan dan tindakan lembaga negara sesuai konstitusi, dan melindungi hak-hak serta kebebasan konstitusi warga negara,

2.    mengatur norma tentang rekrutmen dan seleksi hakim konstitusi menjadi lebih rigid sehingga menghindari penafsiran yang berbeda-beda,

3.    perlunya ketentuan mengenai proses seleksi hakim konstitusi melalui panel seleksi di ketiga lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi.

Revisi pada poin-poin ini diharapkan dapat semakin menyempurnakan kelembagaan MK dan menjamin proses seleksi hakim MK menghasilkan hakim konstitusi yang berkualitas. Dengan hakim konstitusi yang berkualitas, independen, dan berintegritas maka MK dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

Semenjak didirikan pada 15 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi terus berproses dan berbenah. Sejumlah penyempurnaan kelembagaan telah dilakukan dengan beberapa kali revisi terhadap undang-undang MK. Meskipun demikian, masih ada ruang untuk penyempurnaan lebih lanjut melalui revisi-revisi berikutnya untuk memantapkan posisi MK sebagai lembaga kehakiman yang independen untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Share this article :

Posting Komentar

Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yusuf Abdurrohman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger