Pages

Jumat, 20 September 2024

Euforia di balik “Ancaman Tak Terduga” dari Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Pilkada

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah memberikan angin segar bagi proses demokrasi, khususnya dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan ini memungkinkan persaingan yang lebih sehat dan mencegah koalisi partai-partai besar membentuk oligarki yang mengendalikan hasil pilkada secara tidak langsung. Namun, sejumlah pihak berpendapat bahwa putusan MK tersebut terlalu jauh masuk ke ranah legislatif karena memunculkan norma hukum baru yang bahkan tidak termuat dalam petitum para pemohonnya, yakni Partai Gelora dan Partai Buruh. MK secara detail menambahkan ketentuan mengenai ambang batas minimal partai politik mengusulkan calon kepala daerah yang disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah yang bersangkutan.

Di hari yang sama, MK juga membacakan putusan 70/PUU-XXII/2024 terkait mekanisme penghitungan batas usia calon kepala daerah. Mungkin kita semua dapat sepakat, bahwa dalam kasus ini MK telah memberikan penafsiran konstitusi yang tepat dan dapat mengakhiri perdebatan mengenai kapan batas penghitungan usia calon kepala daerah. Putusan yang bagi sebagian pihak dianggap mengandaskan peluang anak bungsu Presiden Jokowi untuk maju pilkada, telah menunjukkan independensi para hakim konstitusi.

Menurut salah satu hakim konstitusi di MK yang telah purna tugas, Wahiduddin Adams, dalam sebuah diskusi bertajuk hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan pada saat beliau masih aktif sebagai hakim konstitusi, Keputusan MK dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebenarnya merupakan wujud judicial control atau mekanisme checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang-undang. Kewenangan MK melakukan uji materiil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal terjadi kekosongan norma akibat putusan MK, MK dapat membuat terobosan hukum dengan merumuskan norma baru didasarkan pada keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk dilakukan.

Sumber: mkri.id

Putusan MK atas judicial review pada Undang-Undang Pilkada, khususnya putusan nomor  60/PUU-XXII/2024 telah menimbulkan pertanyaan dan perdebatan baru, apakah perlu MK turun tangan sejauh itu dengan merumuskan norma baru yang bahkan tidak diajukan dalam petitum para pemohon? Mengapa MK sampai harus mengambil tugas legislatif sebagai pembuat undang-undang? Apakah terjadi kekosongan norma hukum bila MK tidak merumuskan norma baru tersebut?

Jika kita mengambil sudut pandang positif, mungkin kita bisa mengatakan MK sedang menjadi benteng terakhir bagi tegaknya demokrasi di Indonesia. Dengan power yang dimilikinya, MK berusaha mencegah munculnya oligarki yang mendikte jalannya proses pemilihan umum. Dalam kondisi seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan DPR yang akan melakukannya. Namun, jika kita mengambil sudut pandang negatif, kita akan mengkritisi untuk apa MK membuat norma hukum baru ini? Apakah MK memiliki preferensi politik tertentu? Sebab, suka tidak suka, putusan MK akan memberi keuntungan untuk pihak tertentu. Namun, kecurigaan seperti ini tentunya sulit dibuktikan. Hal ini berbeda ketika MK memutuskan perkara batas usia calon presiden dan wakil presiden, dimana Anwar Usman yang saat itu berkedudukan sebagai Ketua MK jelas memiliki hubungan kekerabatan dengan Gibran Rakabuming Raka, sebagai pihak yang diuntungkan dari putusannya. Bahkan ia dijatuhi sanksi oleh Majelis Kehormatan MK karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.

Tanpa memandang isi dari putusan MK atas undang-undang pilkada, putusan MK tersebut, baik nomor 60/PUU-XXII/2024 maupun 70/PUU-XXII/2024, seperti telah mengembalikan martabat dan wibawa MK di mata masyarakat. Setelah sebelumnya disindir sebagai Mahkamah Keluarga, MK kini telah memulihkan kembali nama baiknya dan mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat. Putusan MK atas undang-undang pilkada pun menuai dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.

Namun, kewenangan 9 orang hakim MK untuk membentuk suatu norma hukum baru merupakan sesuatu yang riskan. Sementara DPR dan Pemerintah dalam menyusun suatu undang-undang memerlukan tahapan yang panjang, mulai dari kajian, naskah akademis, rapat dengar pendapat, rapat badan legislatif, hingga pengesahan di rapat paripurna yang dihadiri ratusan anggota DPR. Jika suatu ketentuan hukum dibuat dengan kajian yang kurang matang dari berbagai segi, maka efeknya akan dirasakan ketika ketentuan itu dijalankan.

Sebagai contoh, pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara serentak didasarkan pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Saat itu MK memutuskan bahwa pemilu tidak serentak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, ketika dilaksanakan pertama kali pada 2019, ada ratusan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang meninggal dunia karena kelelahan. Putusan mengenai ambang batas partai politik pengusung calon kepala daerah yang jauh lebih kecil dibanding aturan sebelumnya, memungkinkan munculnya banyak calon kepala daerah di masa depan. Jika setiap partai yang memenuhi syarat jumlah suara memilih mengusung calonnya sendiri-sendiri,  maka jumlah pasangan calon kepala daerah dapat lebih dari 10 orang, belum termasuk calon perseorangan. Sementara, tidak ada pilkada 2 putaran selain di Jakarta. Dengan demikian, pasangan calon yang dinyatakan menang adalah pasangan yang memperoleh suara terbanyak berapapun persentase yang diperolehnya. Hal ini akan berakibat persentase suara pemenang pilkada kecil tetapi dinyatakan menang, sehingga legitimasinya kurang kuat di mata rakyat.

Terlepas dari baik atau buruknya norma hukum baru yang dibuat MK, putusan ini menyimpan potensi ancaman di masa depan. Siapa yang bisa menjamin bahwa hakim MK akan selalu dijabat orang baik, orang-orang yang tidak punya kepentingan, dan orang-orang yang selalu netral? Satu frasa saja yang dibuat MK dapat mempengaruhi hajat hidup ratusan juta orang Indonesia. Sementara putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh untuk mencabutnya. Dengan putusan-putusan strategis yang dihasilkan MK, bukan tidak mungkin akan adanya upaya pemilihan hakim konstitusi “dikondisikan” agar dapat berada di pihak tertentu.

Sementara itu, proses seleksi hakim MK masih menjadi PR yang belum terselesaikan. Sejumlah kontroversi sempat muncul dalam pemilihan ataupun perpanjangan jabatan hakim konstitusi, seperti pada kasus Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Arief Hidayat. Sudah banyak tulisan dan penelitian yang mengangkat proses seleksi hakim MK ini. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh MK sendiri bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gorontalo pada tahun 2017. Hasil penelitian tersebut menyebutkan, bahwa seleksi hakim konstitusi menimbulkan trifurkasi mekanisme seleksi pada 3 lembaga negara yang dapat mengusulkan hakim konstitusi, yakni DPR, MA, dan Presiden. Hal ini tidak terlepas dari konstruksi norma dalam undang-undang MK yang mengatur tentang seleksi hakim konstitusi memiliki tingkat fleksibilitas tinggi sehingga dapat ditafsirkan secara bebas sesuai selera masing-masing lembaga tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 mengenai Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. Untuk itu perlu adanya revisi kembali atas undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi, setidaknya untuk 

1.    menegaskan marwah MK sebagai lembaga yudikatif yang menjaga supremasi konstitusi, memastikan peraturan dan tindakan lembaga negara sesuai konstitusi, dan melindungi hak-hak serta kebebasan konstitusi warga negara,

2.    mengatur norma tentang rekrutmen dan seleksi hakim konstitusi menjadi lebih rigid sehingga menghindari penafsiran yang berbeda-beda,

3.    perlunya ketentuan mengenai proses seleksi hakim konstitusi melalui panel seleksi di ketiga lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi.

Revisi pada poin-poin ini diharapkan dapat semakin menyempurnakan kelembagaan MK dan menjamin proses seleksi hakim MK menghasilkan hakim konstitusi yang berkualitas. Dengan hakim konstitusi yang berkualitas, independen, dan berintegritas maka MK dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

Semenjak didirikan pada 15 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi terus berproses dan berbenah. Sejumlah penyempurnaan kelembagaan telah dilakukan dengan beberapa kali revisi terhadap undang-undang MK. Meskipun demikian, masih ada ruang untuk penyempurnaan lebih lanjut melalui revisi-revisi berikutnya untuk memantapkan posisi MK sebagai lembaga kehakiman yang independen untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Senin, 26 Agustus 2024

Ulasan Singkat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Pilkada

Beberapa hari terakhir ini jagat dunia maya dihebohkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian undang-undang mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Udang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Terdapat dua putusan MK yang krusial dan mendapat perhatian masyarakat luas, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan pertama terkait dengan ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon dalam pemilihan kepala daerah, sementara putusan kedua terkait dengan mekanisme penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah.

Pada putusan pertama, ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah, yakni 20% dari kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu dianggap terlalu berat jika dibandingkan dengan syarat minimal dukungan KTP bagi calon yang mendaftar lewat jalur perseorangan (independen). Menurut MK, hal ini sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan. Oleh karena itu MK mengubah ketentuan ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Putusan ini tentu berdampak besar pada peta persaingan partai politik dalam pilkada yang akan diselenggarakan bulan November nanti. Partai-partai yang sebelumnya harus berkoalisi untuk mencapai batas minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam pemilu, kini dapat secara mandiri mengusung calonnya sendiri-sendiri. Misalnya untuk Pilkada Jakarta, dengan DPT antara 6 hingga 12 juta orang, maka partai politik atau gabungan partai politik dengan suara sah lebih dari 7,5 % dapat mengajukan calon untuk bertarung dalam Pilkada Jakarta.

Seperti telah diketahui bersama, sebelum putusan ini terbit, 12 partai politik telah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Ridwan Kamil-Suswono sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Kedua belas partai politik yang didominasi koalisi pengusung Prabowo-Gibran dalam Pilpres lalu seakan menutup kemungkinan munculnya calon lain yang diusung partai politik.  Meski demikian, sudah ada satu calon penantangnya dari jalur independen, yakni pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana yang telah lolos verifikasi KPU meski diwarnai kasus pencatutan NIK dalam pengumpulan KTP dukungan. Namun, putusan MK pada 20 Agustus lalu telah membuat semua orang terhenyak, karena kini partai besar yang tersisa yakni PDI Perjuangan yang memperoleh 14% suara dapat mengusung calonnya sendiri. Sejumlah tokoh dengan elektabilitas besar digadang-gadang akan mampu mengalahkan Ridwan Kamil bila diusung oleh PDIP, seperti Anies Baswedan atau Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Putusan MK ini mengobarkan kembali harapan para pendukung Anies Baswedan agar Anies dapat kembali berlaga di Pilkada Jakarta. Terlebih sejak pilpres lalu, masyarakat masih terbelah berdasarkan capres yang didukungnya. Sosok Anies Baswedan yang digambarkan sebagai simbol perubahan diharapkan dapat menang menghadapi Ridwan Kamil yang didukung koalisi besar partai-partai penguasa.

Sementara itu, putusan MK yang kedua berkaitan dengan penafsiran kapan batas waktu usia calon Kepala Daerah dihitung. Menurut MK, batas usia tersebut adalah pada saat pentapan pasangan calon oleh KPU. Hal ini berbeda dengan penafsiran Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan KPU yang menafsirkan batas waktu tersebut adalah pada saat pelantikan.

Sehari setelah putusan MK tersebut, Badan Legislatif (Baleg) DPR megadakan rapat pembahasan revisi UU Pilkada untuk menyikapi hasil putusan MK. Hasil rapat yang menunjukkan Baleg DPR membuat penafsiran baru atas putusan MK mengenai ambang batas minimal suara partai politik, Baleg DPR memutuskan untuk tetap menggunakan ketentuan lama bagi partai politik yang memiliki kursi di DPR dan putusan MK untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Ambang batas ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi melihat kenyataan dimana partai-partai koalisi pemerintah bersatu membentuk koalisi besar untuk mengusung satu pasangan calon kepala daerah menyebabkan peluang munculnya calon lawan dari partai politik semakin kecil. Seperti di Pilkada Jakarta dimana ketentuan tersebut menyebabkan hanya ada 1 calon dari partai politik dan calon dari perseorangan yang dapat bertarung dalam pilkada. Pasangan independen diyakini tidak akan memiliki logistik yang mumpuni untuk bersaing dengan calon dari koalisi besar partai politik. Hal ini dapat mengarah pada demokrasi yang tidak sehat. Akhirnya demokrasi hanyalah sebatas formalitas, secara substansi semua sudah dikendalikan oleh koalisi partai politik yang membentuk oligarki.  Sementara masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain memilih calon yang sudah dikondisikan tersebut. Selain masalah ini, Baleg DPR juga sepakat untuk menggunakan penafsiran MA terkait batas waktu penghitungan usia calon kepala daerah.

Baleg DPR bersama perwakilan Pemerintah secara aklamasi sepakat untuk membawa rancangan revisi Undang-Undang Pilkada tersebut ke rapat paripurna pada keesokan harinya untuk disahkan. Sejumlah pihak meyakini adanya andil “istana” untuk memuluskan langkah anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, agar dapat maju dalam Pilkada. Kaesang yang lahir pada 25 Desember 1994 tidak dapat maju dalam Pilkada tingkat provinsi bila ketentuan Undang-Undang Pilkada menggunakan putusan MK, tetapi dapat maju bila menggunakan putusan MA. Kaesang sendiri santer dikabarkan akan maju sebagai Calon Wakil Gubernur Jawa Tengah. Meski demikian, keyakinan adanya andil istana tidak bisa dengan mudah dibuktikan. Selain itu, baliho bergambar Kaesang tidak nampak di wilayah Jawa Tengah seperti baliho calon-calon lainnya yang telah bertebaran di berbagai sudut provinsi itu. Selain itu, partai-partai koalisi pemerintah ditengarai berusaha agar dapat menang mudah dalam pilkada di berbagai daerah dengan bersatu dan mencegah munculnya calon alternatif dari partai lain.

Kedua poin kontroversial itu sontak membuat DPR menuai kecaman dari masyarakat luas. Aksi protes pun tak hanya berhenti di dunia maya. Ribuan orang termasuk para mahasiswa dan buruh di berbagai kota turun ke jalan untuk menolak pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada tersebut. Hingga akhirnya rapat paripurna tidak memenuhi kuorum dan agenda pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada pun dibatalkan. DPR dan KPU kemudian menyepakati ketentuan pendaftaran calon kepala daerah mengikuti ketentuan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dari kasus ini, masyarakat secara umum akan menilai bahwa DPR telah mempertontonkan syahwat kekuasaan secara vulgar. Alih-alih menghormati putusan MK yang berlaku secara final dan mengikat, DPR tampak memaksakan kepentingannya dengan memilih membuat penafsiran hukum sendiri. Selain itu, beberapa pihak menuding Presiden Jokowi berada di balik layar untuk memuluskan langkah Kaesang maju ke Pilkada. Besarnya gelombang protes akhirnya sukses mencegah revisi undang-undang pilkada disahkan.

Tentunya apa yang terjadi sebenarnya tidak sesimpel undang-undang batal direvisi karena gagal kuorum. Kita sebagai rakyat biasa tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti apa yang terjadi di balik layar. Siapa sebenarnya dalang di balik keributan ini? Apakah ada deal-deal tertentu di antara para elit politik? Kita semua hanya bisa menduga-duga tanpa memiliki bukti yang valid. Mungkin juga hanya kabar-kabar burung yang akan kita dengar. Sebab sejumlah undang-undang kontroversial lain pun nyatanya tetap dapat disahkan meski sama-sama menuai protes dari publik.

Terlepas dari baik atau buruknya putusan MK, norma baru terkait ambang batas partai politik mengusung calon kepala daerah menimbulkan kontroversi baru. Sebab, MK seperti mengambil peran DPR sebagai penyusun undang-undang dengan memasukkan beberapa poin ke dalam undang-undang Pilkada yang bahkan tidak dimuat dalam petitum pemohon. Meski demikian kontroversi ini tidak begitu meluas karena publik lebih berfokus pada isi putusan dan bagaimana reaksi DPR yang mengabaikan putusan MK. Dalam tulisan berikutnya, insya Allah saya akan membahas lebih lanjut terkait masalah ini.

Akhir kata, sebagai rakyat biasa, kita tidak perlu terlalu fanatik pada tokoh atau partai tertentu. Toh politik itu cair, hari ini jadi kawan, besok bisa jadi lawan. Semua tergantung kepentingan. Kalau kepentingannya sama, terjadi apa yang kita saksikan bersama. Sebagai rakyat biasa, kita hanya dapat melakukan hal kecil yang bisa kita suarakan untuk kebaikan bangsa ini. Apapun yang terjadi, jangan lelah untuk mencintai Indonesia.


Selasa, 11 Juni 2024

Catatan Refleksi Mengikuti Kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Halo semua 😃 sudah lama sekali saya vakum menulis di blog ini. Selain karena kesibukan dan tidak ada inspirasi, malas menulis tentu menjadi penyebab utama. Setelah hampir 6 tahun lamanya, akhirnya ada tulisan baru di blog ini. Kali ini saya hanya membagikan catatan refleksi selama mengikuti mata kuliah metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Daripada hanya dibaca dosen, biarlah dunia membaca curhatan saya, bukan? 😁


1.    Pendahuluan

Pada mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Lanjutan 2, kami mempelajari dan mempraktikkan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari sekian banyak metode dalam penelitian kualitatif, beberapa metode dibahas cukup mendalam di kelas, seperti metode studi kasus, fenomenologi, etnografi digital, analisis wacana kritis, dan analisis teks multimodal. Mahasiswa dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 orang. Kemudian setiap kelompok melakukan penelitian dengan salah satu dari kelima metode tersebut. Saya tergabung dengan kelompok yang menggunakan metode studi kasus untuk penelitian yang kami lakukan.


2.    Deskripsi

Sebelum mulai melakukan penelitian, kami sekelompok perlu waktu beberapa hari untuk menentukan objek penelitian yang akan kami angkat dalam penelitian. Dari beberapa ide yang muncul dari anggota kelompok akhirnya kami sepakat untuk meneliti konten berbagi yang ditayangkan melalui live streaming di aplikasi Tiktok. Kami tertarik untuk mengetahui ada apa di balik munculnya tren konten berbagi di Tiktok. Mengapa tren ini muncul, bagaimana konsepnya, dan mengapa tren ini dapat eksis.

Kami mulai dengan melakukan observasi pada konten berbagi yang ditayangkan secara live. Masing-masing anggota kelompok melakukan observasi pada objek yang berbeda dan mencatat hal-hal yang menarik dan relevan dengan tujuan penelitian. Kemudian kami bertukar objek observasi agar bisa menangkap hal-hal yang mungkin luput dari perhatian observer sebelumnya. Kemudian kami mencatat temuan kami dan mendiskusikan temuan tersebut.

Kami berkali-kali melakukan diskusi untuk membahas penelitian ini, baik dengan pertemuan secara langsung ataupun secara online. Kami juga mencari referensi dari berbagai artikel jurnal maupun berita yang relevan dan terkait dengan topik penelitian. Kami sering mendiskusikan insight dari artikel jurnal atau berita untuk dapat lebih memahami temuan yang kami dapatkan. Referensi tersebut memberikan pencerahan dan memperluas pemahaman kami untuk melakukan analisis yang lebih mendalam pada data yang kami kumpulkan.

Sumber gambar: https://jurnalmanajemen.com/wp-content/uploads/2019/04/metode-penelitian-kualitatif.jpg

Selain melakukan observasi dan studi literatur, kami juga melaksanakan wawancara mendalam pada tiga orang narasumber yang merupakan streamer konten berbagi di Tiktok. Kami mencoba menghubungi para narasumber melalui direct message di Tiktok yang kemudian dilanjutkan dengan menghubungi mereka melalui Whatsapp. Dua orang narasumber berdomisili di Surabaya sehingga kami melaksanakan wawancara secara online melalui Whatsapp Call. Sementara satu orang  berdomisili di Bekasi, sehingga kami dapat melakukan wawancara secara langsung dengannya.

Sebelum wawancara dilakukan kami telah menyiapkan beberapa pertanyaan utama untuk menggali fenomena yang kami angkat. Dalam praktiknya kami mengembangkan pertanyaan dan menggali lebih dalam mengenai masalah yang kami teliti sesuai dengan respon dari narasumber. Kami tidak berusaha mengarahkan jawaban yang diberikan narasumber, melainkan memberikan ruang bagi narasumber untuk bebas menjawab pertanyaan kami sesuai dengan apa yang dialami dan dirasakannya. Kami melakukan wawancara dengan situasi yang akrab dan santai sehingga memberikan kenyamanan baik pada kami maupun narasumber. Narasumber pun tampak santai dan tanpa beban dalam menceritakan pengalamannya selama melakukan kegiatan berbagi melalui live streaming di Tiktok.

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, kami mulai melakukan coding untuk menganalisis temuan yang kami peroleh dan menyusunnya menjadi informasi yang padu kemudian menganalisisnya sesuai dengan paradigma dan kerangka pemikiran kami hingga dihasilkan kesimpulan atas fenomena yang terjadi. Awalnya kami agak kesulitan untuk melakukan coding karena belum memiliki gambaran yang jelas untuk melakukannya. Namun, setelah mempelajari beberapa referensi kami mulai melakukan coding dengan bantuan software yang ternyata sangat mempermudah dan menghemat waktu. Kami banyak bertukar pikiran dan pendapat selama melakukan diskusi. Terkadang kami memaknai suatu hal dengan cara yang berbeda dan melihat satu hal yang sama dengan sudut pandang yang berbeda. Perbedaan pendapat tentu saja muncul, tetapi kami dapat menerima pendapat tersebut ketika mendapatkan penjelasan logis yang melatarbelakanginya. Terkadang saya merasa ada hal-hal yang luput dari pandangan saya tetapi dapat ditangkap oleh teman-teman saya, begitu pula sebaliknya.

Selama menjalankan penelitian ini kami berempat dalam satu kelompok cukup kompak dan solid. Kami membagi tugas observasi dan penulisan tetapi tetap terus berkomunikasi dan mendiskusikan hal-hal apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam tulisan serta insight apa yang didapatkan dari hasil elaborasi antara temuan dengan kerangka berpikir dan hasil penelitian-penelitian terdahulu. Pada saat finalisasi, kami membahas tulisan kami dengan detail secara bersama-sama. Seluruh anggota kelompok memberikan kontribusi yang kurang lebih sama dalam menjalankan proyek penelitian ini. Adapun urutan nama penulis dalam artikel yang kami tulis didasarkan pada urutan abjad, bukan pada besar kecilnya kontribusi penulis.


3.    Analisis

Lancarnya pelaksanaan penelitian ini tidak lepas dari komitmen dari seluruh anggota kelompok untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Kami memiliki jadwal kuliah yang berbeda dan kegiatan di luar kampus yang berbeda pula, sehingga seringkali harus menyesuaikan waktu pertemuan dengan anggota kelompok yang lain. Masing-masing merasa wajib berkontribusi sehingga tidak ada yang menjadi free rider dalam menjalankan tugas ini. Selain itu, dengan benar-benar ikut serta dalam penelitian ini, maka kami akan mendapatkan pengalaman yang berharga sebagai bekal untuk menyusun tesis ataupun melakukan penelitian-penelitian lain ke depannya.

Perbedaan pandangan dalam melihat suatu hal merupakan hal yang wajar, terlebih kami berasal dari disiplin ilmu yang berbeda saat kuliah di jenjang S1 dan memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda pula. Selain itu, mata kuliah peminatan yang kami ambil saat ini juga berbeda-beda sehingga penekanan pada apa yang kami lihat terkadang bergantung pada bidang apa yang telah kami dalami. Saya yang mengambil mata kuliah peminatan di bidang komunikasi pemasaran seringkali melihat objek penelitian dari sisi bisnis dan pemasaran. Sementara teman lain yang mengambil mata kuliah peminatan di bidang manajemen media digital seringkali melihatnya dari sudut pandang perkembangan teknologi dan perilaku digital. Sedangkan yang mengambil mata kuliah komunikasi antar budaya memiliki perhatian pada pengaruh budaya dan nilai-nilai di masyarakat terhadap praktik yang berjalan pada objek penelitian. Perbedaan perspektif ini bukan menjadi hambatan tetapi justru semakin memperkaya narasi yang kami bangun dari hasil analisis kami.


4.    Evaluasi

Secara keseluruhan pelaksanaan penelitian yang kami lakukan berjalan lancar. Meski demikian terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi agar kami dapat melakukan penelitian dengan lebih baik ke depannya. Salah satu hal yang cukup penting diperhatikan adalah terkait rencana linimasa pelaksanaan penelitian. Kami belum memiliki perencanaan terkait linimasa dan tahapan pelaksanaan penelitian. Ketiadaan perencanaan ini dapat menyebabkan penelitian tidak diselesaikan tepat waktu atau terlalu banyak yang harus dikerjakan menjelang batas akhir pengumpulan hasil penelitian. Meskipun kami tetap dapat menyelesaikan penelitian ini tepat waktu, tetapi penyusunan rencana penelitian akan sangat bermanfaat dalam membagi waktu pengerjaan tugas dan mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk melaksanakannya. Apalagi batas waktu pengumpulan tugas penelitian ini hampir bersamaan dengan batas waktu pengumpulan tugas-tugas mata kuliah lainnya.


5.    Kesimpulan dan Pembelajaran

Dari pengalaman selama satu semester mempelajari dan mempraktikkan penelitian dengan pendekatan kualitatif secara berkelompok, banyak hal yang telah saya dapatkan. Pertama, saya menjadi lebih memahami konsep-konsep dalam penelitian kualitatif yang sebelumnya masih asing bagi saya. Sebab, sebelumnya saya lebih banyak melakukan penelitian kuantitatif. Pada penelitian kuantitatif metode akan menentukan bagaimana teknik pengumpulan data. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data mungkin hampir sama tetapi kedalaman dan penekanan pada apa yang digali tergantung dari metode yang digunakan.

Kedua, saya belajar untuk berkolaborasi dan bekerja sama dalam tim. Saya belajar untuk berkoordinasi secara efektif dan mengelola pelaksanaan tugas secara bersama-sama meskipun sedang tidak berada di lokasi yang sama. Dalam bekerja secara tim, kami perlu menjaga keutuhan dan kekompakan tim dengan terus menjaga komunikasi serta menyelesaikan perbedaan pendapat dan pandangan dengan baik. Salah satunya dengan memberikan dan menerima argumen logis yang mendasari setiap pendapat yang diutarakan.

Ketiga, saya belajar untuk berempati dan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Saya menyadari bahwa setiap perilaku seseorang didasari oleh motif yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ketika melakukan wawancara dengan narasumber, saya berusaha membangun komunikasi yang membuat narasumber merasa nyaman dan bebas dalam menceritakan apa yang ia alami dan rasakan. Saya belajar untuk menganalisis secara langsung jawaban dari narasumber untuk kemudian mengajukan pertanyaan lanjutan yang dapat menggali lebih dalam hal-hal yang relevan dengan topik penelitian.

Terakhir, saya belajar untuk menganalisis data dari temuan-temuan yang didapatkan di lapangan. Saya berlatih untuk menyusun kumpulan puzzles informasi dan menuangkannya dalam bentuk narasi yang runtut dan padu. Saya berusaha untuk meminimalkan bias dari penilaian pribadi saya dengan berdiskusi secara intens dengan rekan-rekan sekelompok. Selanjutnya narasi tersebut dielaborasi dengan teori dan kerangka berpikir serta hasil-hasil penelitian terdahulu untuk akhirnya dapat ditarik kesimpulan atas kasus yang diteliti.

Seluruh pembelajaran yang saya dapatkan di atas dapat menjadi bekal yang sangat berarti dalam penyusunan tesis maupun untuk melakukan penelitian-penelitian lain ke depannya. Selain itu, pengalaman ini juga bermanfaat ketika saya kembali ke dunia kerja dimana kemampuan menganalisis dan berkolaborasi sangat dibutuhkan. Terakhir, kemampuan berkomunikasi dan menjalin hubungan juga sangat diperlukan baik di dunia kerja maupun dalam kehidupan sehari-hari secara umum.